Selasa, 07 Agustus 2012

ponsel doja safir

Cerpen hamdan
Kumandang azan terbang secepat cahaya memasuki ruang-ruang di seluruh tempat dalam lingkar radius kelurahan Padang Panjang. Kumandang itu selalu berbunyi tepat pada waktunya, tak kurang dan tak lebih sedetik pun. Safir cukup piawai dalam mengatasi tugasnya sebagai penjaga masjid. Ia mampu mengakali agar jam weker yang biasa dipakai untuk memasang alaram waktu, dapat secara otomatis tersambung ke MP3 Player yang memainkan tadarrus alquran. Untuk ukuran kampungnya yang membatasi perkotaan dan pedesaan, hal yang ia lakukan itu sangat luar biasa, apalagi terkait dengan penguasaan teknologi. Warga lain umumnya hanya pemilik produk teknologi, mereka membelinya setelah mengumpul-ngumpul hasil kerja keras sepanjang dan setiap hari. Safir lebih dari itu, dapat mengutak-atik sejumlah produk elektronik, bahkan dapat memodifikasinya sehingga memilki fungsi baru sesuai kebutuhan yang diinginkan.

Sebelumnya urusan membunyikan tadarrus alquran di masjid memang sudah menggunakan cukup teknologi, tetapi yang bertugas harus betul-betul berjaga-jaga agar tidak telat membunyikan masjid, terutama di waktu-waktu ngantuk menyerang yakni saat ashar dan subuh. Jika lalai, bisa jadi shalat jama’ah juga akan telat dilaksanakan atau bahkan tidak sama sekali. Jika musim hujan datang, si penjaga masjid yang biasa dipanggil doja, harus menyiapkan payung untuk dapat mencapai masjid dari rumahnya. Apalagi bila hari juma’at, doja harus lebih siaga ekstra bertanggung jawab terhadap kelancaran shalat jum’at.

Pernah suatu Jum’at doja Sarip telat membunyikan MP3 tadarrus yang berfungsi mengingatkan sekaligus mengajak warga untuk shalat jum’at. Doja Sarip dapat teguran dari pak lurah setelah pak lurah mendapat laporan dari pak rt. Doja Sarip malu dan mengaku salah tapi juga membela diri bahwa doja juga manusia, yang sayangnya job doja jauh seribu kali lipat di bawah gaji gubernur. Doja harus pergi mencari job lain untuk mencukupi hidup keluarganya dan itu berarti doja juga perlu interval, perlu durasi untuk beralih dari job satu ke job lainnya. Wajar bila doja terlambat karena kelelahan atau ketiduran, atau harus menyelesaikan kerjaannya lebih dulu yang tanggung untuk ditinggal. Diam-diam pak rt sebenarnya ingin mempromosikan menantunya untuk menjadi doja baru. Dengan membesar-besarkan masalah undisipliner doja Sarip, pak rt dapat menjalankan rencananya.

Pak rt memiliki visi kekuasaan. Meskipun ia sadar bahwa ia tak mungkin jadi pak lurah atau pak doja, tetapi ia bisa menjadi seorang figur yang dapat memainkan peran dalam mengatur para pejabat di seluruh wilayah kelurahannya. Dengan begitu kekuasaan tetap ada di tangannya. Tidak jarang di musim suksesi pemilukada, pilcaleg, sampai pilpres ia sibuk menerima tamu dari sejumlah tim sukses yang menawarkan berbagai hal jika nanti pak rt mampu memenangkan calon mereka. Sejak tiga tahun lalu ia mempromosikan menantunya dengan cara membentuk opini warga, memblowup kelemahan pejabat doja, dan mengangkat citra menantunya dengan berbagai cara pencitraan. Sudah tiga tahun pula ia gagal meloloskan Diman menantunya yang pernah kuliah tapi tidak tamat itu.

Menjadi doja memang bukan hal mudah dan menyenangkan. Karena bila jadi doja menyenangkan, bukan hanya Diman, pasti banyak orang yang mau jadi doja masjid. Masalahnya mereka harus pandai menyiapkan diri, jiwa, raga, pikiran dan waktunya dalam lima kali sehari semalam. Menyiapkan diri artinya pribadi harus tidak bertentangan dengan masjid. Jiwanya harus berada dalam masjid dan dalam seluruh keimanan publik. Raganya harus disiapkan untuk mengelola seluruh hal yang terkait dengan kebutuhan peribadatan warga. Pikiran harus dikerahkan sepenuhnya pada seluruh hal terkait penyelenggaraan masjid sebagai institusi. Waktu harus diatur sedemikian rupa sehingga seluruh kegiatan, meski urusan pribadi, harus mengalah dengan jadwal masjid dan jadwal shalat yang telah disusun di masjid.

Karena itulah Safir memikirkan cara-cara yang lebih memudahkan urusan. Setidaknya, walaupun ia belum sampai ke masjid, tadarrus dapat berbunyi tepat pada waktunya setengah jam sebelum waktu shalat. Sebelumnya, ia menggunakan jam weker biasa yang disambungkan ke bagian tertentu pada MP3 player. Cara ini lebih sering masih membingungkannya, karena ia tidak bisa memastikan apakah tadarrus betul-betul dapat berbunyi. Beberapa bulan terakhir Safir sudah bisa menggunakan handphone untuk membunyikan tadarrus dari jarak jauh, sejauh jangkauan signal. Cukup dengan memencet nomor ponsel masjid lalu menekan tombol call, lalu ponsel tadarrus masjid menjawab otomatis, dan masjid sudah dapat bertadarrus. Ia sendiri dapat mendengarkan bunyi itu untuk memastikan bahwa tadarrus memang telah berbunyi. Jika ia sudah mendengar tadarrus itu, ia cukup memencet tombol mengakhiri call. Konsekwensi menggunakan cara ini hanya mengeluarkan sedikit pengeluaran ongkos pulsa.

Suatu hari ketika baru setengah jam sedang bekerja di sebuah pasar, Safir mendapat call dari seseorang bernomor baru, belum tersimpan dalam phone book.

“Ya, halo... kenapa? Dengan siapa nih...? Bukan, bukan... saya Safir. Maaf anda sepertinya salah sambung...”

Tiba-tiba Safir gelisah bukan kepalang. Ia ingin segera pulang tapi pekerjaan belum selesai, masih pagi, masih lama. Waktu shalat juga masih lama. Tetapi kasus salah sambung itu seperti hantu baginya dan mengganggu pekerjaan. Jangan-jangan terjadi call salah sambung pada nomor masjid? memang hanya ia yang menyimpan nomor ponsel masjid, tapi juga bisa saja nomor itu jadi sasaran salah sambung. Masjid akan tadarrus pagi hari jauh sebelum dzuhur. Atau tadarrus pukul 10 malam, atau 12 malam jauh setelah jadwal isya. Wah, gawat. Warga bisa protes. Pak rt pasti mulai mendapat bahan cerita menyebarkan hasut.

Idenya yang cemerlang dalam bidang kedojaan itu tiba-tiba menjadi hantu peneror yang menghidangkan ketakutan, kegelisahan dan celaka duabelas. Seorang yang melihat hantu dalam dunia penampakan boleh menutup mata, menyelimuti tubuh rapat-rapat, membaca jampi dan segera merasa aman. Tetapi hantu yang satu ini lebih sangar tanpa penampakan, ia masuk ke ruang-ruang batin dan pikiran, dan dengan palu raksasanya ia menghancurkan bangunan-bangunan syaraf konsentrasi. Hanya dalam setengah jam Safir melakukan tiga kali kesalahan dalam pekerjaannya melayani para konsumen toko elektronik bossnya. Tentu saja boss ngomel dan berulang-ulang memarahinya. Paling sadis dan menyakitkan saat boss mengatakan padanya, “kalau tidak mampu lagi kerja, ya sudah, berhenti saja”.

Hantu salah sambung itu tidak sendiri. Ia punya teman hantu yang dan tak kalah sangar dan menakutkan. Safir sedang jatuh cinta dengan Narsi anak pak rt, dan Narsi juga menerima cintanya. Cinta mereka semakin tumbuh bagai taman bunga dengan aneka kembang bermekaran. Tapi semua itu mereka sembunyikan apalagi terhadap pak rt, bapak si Narsi, yang sebelumnya membenci Safir karena mengalahkan menantunya dalam bursa doja masjid dan ini kekalahan kali kedua. Bila call salah sambung terjadi ke ponsel masjid, ini bisa jadi pemicu baru bagi pak rt untuk mengkampanyekan anti Safir. Kebencian pak rt terhadap dirinya akan makin tersulut dan pasti merembet ke persoalan stabilitas hubungannya dengan Narsi. Padahal bagi Safir, Narsi sangat berarti dalam hidupnya. Di seluruh wilayah kelurahannya, hanya Narsi yang punya pikiran berbeda. Narsilah gadis satu-satunya yang masih menganggap pekerjaan doja, menjaga dan memelihara masjid itu adalah sesuatu yang mulia. Narsi ingin membawa hidupnya pada ruang-ruang kemuliaan. Inilah yang membuat Safir takut kehilangan Narsi yang bisa saja terjadi karena call salah sambung ke ponsel masjid.

Safir mengirim sms ke Narsi; “apakah kau masih akan mencintaiku bila aku tidak lagi menjadi doja masjid?” Lalu Safir mengatur nada sms hanya menggunakan nada getar seperti debaran hatinya saat itu. Dan sekejab ponselnya bergetar; “k’Safir, aku mcintaimu krn hatimu sll di masjid.” Hati Safir bergetar makin kencang. Makin kencang karena digetarkan oleh dua arus kencang, arus salah sambung dan arus Narsi kekasihnya. Getaran itu terasa beda karena tercipta dari ketegangan, ketegangan antara rasa takut dan rasa bahagia, ketegangan antara bencana dan cintanya.

“Safiiir... sebagai teguran terakhir, mulai detik ini, kau saya hentikan kerja selama seminggu di tempat ini. Setelah itu bila masih terulang, kau akan kupecat!” Demikian kata bossnya yang tak mampu lagi melihat kesalahan berulang-ulang dari Safir.

Safir dengan sedikit lemah pulang ke rumah namun lebih tertarik mampir ke masjid beristirahat. Ia duduk memandang ponsel masjid. Ponsel itu menjadi wajah Narsi dalam kelembutan senyum dan bening matanya. Safir dengan refleks memperbaiki sandar duduknya melihat wajah itu. Lalu ponsel itu menjadi wajah pak rt yang mirip sekali dengan wajah Narsi. Sangat mirip. Dari wajahnya, pak rt bisa dibilang Narsi yang berkumis dan berambut pendek. Wajahnya tampan tetapi hatinya bopeng seperti jalan bertabur lubang dan lumpur. Lalu ponsel itu menjadi bossnya yang tak henti-henti marah sambil menghitung uang dan memisahkannya dalam kotak debet kredit modal dan saldo. Ponsel kembali menjadi wajah Narsi, lalu Safir tertidur. Ia lelah memikul ketegangannya.

Ponselnya bergetar dan membangunkan Safir. Oh, ini pasti sms Narsi. Dilihatnya cepat. Ah, ternyata getar alaram, ia lupa mengembalikan nada getar sms pada nada dering kesukaannya. Kini waktunya membunyikan tadarrus untuk shalat dzuhur. Masjid telah berbunyi dan Safir membersihkan kamar kecil, tempat wudhu dan tempat alas kaki, sambil merenung-renung bagaimana cara agar tidak terjadi salah sambung pada ponsel masjid. Masjid asuhan Safir biasanya di waktu-waktu tertentu memiliki banyak jama’ah dan kadang biasa-biasa saja. Biasa-biasa saja maksudnya hanya terdiri dari beberapa saja orang tua usia lanjut, pensiunan, dan remaja masjid.

Segera setelah shalat, Safir menuju ke pusat penjualan dan service ponsel merek “ndal” buatan Indonesia. Merek ponsel andalannya. Safir ingin memesan sebuah ponsel dengan settingan khusus yang dapat menolak seluruh jenis panggilan dan pesan baik sms maupun mms dari nomor manapun, kecuali dari nomor ponselnya sendiri dan nomor ponsel Narsi. Nomor Narsi sesekali pasti dibutuhkan misalnya bila ponsel Safir bermasalah atau hilang. Bila pemegang hak atas merek ponsel itu tak dapat membantunya, toh Safir dapat melakukannya sendiri, karena ia memiliki kemampuan mengutak-atik ponsel baik hardware maupun software. Ia hanya tak ingin menganggu hak orang lain.

Cara itulah pikir Safir, satu-satunya yang dapat menyelamatkan masjid, dirinya, pekerjaannya, dan terutama cinta mereka; Narsi dan Safir. Bagaimanapun pentingnya tanggung jawab doja kepada masjid, tetapi pekerjaan juga tak kalah penting bagi Safir. Menjadi doja hanya menjamin kehidupan akhirat, tetapi tidak menjamin kehidupan selama hidup di dunia. Doja bukan pegawai negeri meskipun urusannya dalam beberapa hal lebih sulit dari beberapa pekerjaan pegawai negeri. Lebih banyak pegawai datang ke kantor bercanda dalam menghabiskan jam-jam kantor. Safir bekerja siang malam tanpa hari libur. Apalagi Safir juga bercita-cita menyunting Narsi. Ia harus memiliki kemampuan finansial. Doja juga perlu hidup.

Safir sedang akan istrahat malam hari, ketika ponselnya berdering. Ingatannya segera ke Narsi. Safir memang selalu mengingat kekasihnya itu hampir di setiap moment, apalagi saat ponsel berdering. Ia selalu ingin bersama Narsi, tetapi itu bisa membuat hubungan mereka hancur sebelum tumbuh. Siapa yang tak kenal pak rt yang juga sebenarnya hantu. Ponsel terus berdering. Nomor tak dikenal. Tiba-tiba saja ingatan Safir betul-betul beralih ke pak rt. Jangan-jangan pak rt menelponnya, mungkin bukan salah sambung, tapi pak rt pandai bertanya layaknya interogasi dan menjebak orang dalam logika kesalahan. Jawab tidak... jawab tidak...? Akhirnya Safir menerima panggilan itu.

“Mas Safir, kami dari ponsel “ndal”. Kami akan memenuhi permintaan anda. Tetapi beri kami waktu tiga hari dan anda akan kami telepon untuk komunikasi selanjutnya.”

Betapa bahagianya Safir menerima telepon itu. Ia memang sudah menawarkan pada perusahaan ponsel bahwa cara ini bisa diterapkan ke semua doja masjid di seluruh wilayah negeri ini. Hitung-hitung gagasan itu bisa sebagai projek percontohan bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sosial. Tetapi sebagai doja yang berpikir doja, Safir tidak banyak berharap idenya dapat diterima oleh perusahaan atau negara dan menjadi projek nasional. Doja sejak dulu hanya doja bersama masjidnya.

Makassar, 18 Desember 2011

aku tidak sakit

cerpen kedip kecil kemuning (hamdan)
























“Permisi, beli rokok sebungkus pak. Oh iya, Sekarang jam berapa ya pak?”

“Jam 9. Emm… kira-kira lebihnya 20 menitlah dek.”

“Busyet, tepat lagi jawaban orang tua ini”, bisik si penanya sambil berlalu tersenyum sipu setelah membayar rokoknya.

Setiap pagi selalu saja ada yang mampir belanja dan menanyakan jam kepada pak Bedu di gardu jualannya di simpang tiga. Padahal pak Bedu sama sekali tidak punya alat waktu, sementara 8 dari 10 orang yang bertanya itu umumnya memiliki jam tangan atau HP yang setiap saat bisa dilihat. Mereka hanya merasa senang dan lucu saat mendapat jawaban pak Bedu yang selalu tepat dengan margin error 5%. Tapi pak Bedu tidak tau tentang semua itu. Ia hanya tau bahwa delapan bulan terakhir pelanggannya semakin bertambah dan lebih setia, cukup dengan bonus informasi waktu.

Tak disangka pak Bedu menjadi terkenal dikalangan warga sebagai orang dengan kemampuan unik. Di warkop, warung makan, rumah sakit, pasar, sekolah, dan kampus-kampus. Dalam setiap kesempatan ngobrol, seringkali temanya bergeser ke dunia spiritual atau paranormal dan pak Bedu menjadi tokoh lokal di antara deretan tokoh-tokoh nasional seperti Mbah Marijan, Ki Jokobodo, dan lain-lain.

“Pagi pak Bedu, beli roti tawar dan seleinya.”

Setelah membayar dan mengambil belajanya, gadis itu segera balik ke rumahnya, duduk di teras dikitari taman bunga. Duduk diam menulis dan membaca apa saja yang ia siapkan di meja. Sesekali ia menyapu taman meski masih nampak bersih, menggoyang pohon mangga golek agar daun kering lebih cepat jatuh dan disapu. Di antara semua pelanggan pak Bedu, dialah satu-satunya yang paling rajin belanja ke pak Bedu dan dia pula yang tak pernah menanyakan jam.

Begitulah Alisa, sejak hampir sembilan bulan lebih banyak melewati hari-harinya di teras dan taman. Ia bahkan telah menyiapkan la’da [1] ukuran mini untuk berbaring atau tidur jika waktunya. Di samping la’da itu juga ia siapkan sebuah kotak untuk menyimpan carik-carik kertas yang ia sudah tulisi. Jika pak Bedu dianggap unik, maka Alisa dianggap sakit oleh orang tua dan keluarganya, teman-temanya, dan juga oleh warga sekitar lingkungannya. Ia juga menjadi bahan dalam cerita-cerita warga —untuk tidak menyebut pergunjingan, bahkan sebenarnya menyaingi ketenaran pak Bedu dalam tema yang berbeda.

Bagi semua orang, banyak perubahan aneh yang tampak pada diri Alisa dan karenanya ia divonis sakit jiwa. HP dan laptop mahal yang dulu ia miliki diberikan pada Rizka anak pak Bedu. Katanya Ia benci punya HP dan laptop, sedang Rizka mungkin lebih butuh dan bermanfaat. Seminggu yang lalu ibu dan bapaknya jadi sangat marah ketika datang dari Jakarta. Bukan karena HP dan laptop yang disumbangkan ke orang, tapi karena mereka sangat sulit berkomunikasi dengan Alisa. Sebagai anggota Dewan pusat, bapaknya dan berarti juga ibunya harus tinggal 5 tahun di ibu kota. Sedang Alisa tidak senang dan menolak ikut ke ibu kota. Satu-satunya jalan komunikasi hanya dengan telpon, sms atau chatting.

“Apa kamu ingin saya dan bapakmu meninggalkan karir bisnis dan pekerjaan yang sudah dirintis sejak dulu dan tinggal di kampung ini melarat?” Tegas ibunya dengan kesal. Sangat kesal karena semua saran dari ahli psikologi anak dan ahli jiwa yang pernah ia datangi, telah ia lakukan dengan sempurna untuk Alisa. Bahwa anak pada dasarnya tidak membutuhkan banyak materi. Anak tidak boleh terkekang hidup dan pikirannyanya. Yang lebih utama adalah kebutuhan bathin. Komunikasi harus terjaga dengan baik dan intens, hingga keterbukaan bisa tercipta. Macam-macamlah.

Alisa tak bergeming, tetap di teras diam menulis dan membaca surat-suratnya. Semua surat dimasukkan ke amplov dan tersusun rapi dalam kotak plastik. Dalam kotak itu terbagi dua bagian dengan label inbox dan outbox. Kemudian kedua bagian itu diberi lebel; ibu dan ayah, saudara, keluarga, teman, sahabat. Masing-masing bagian kecil itu diberi warna dan gambar hewan yang ia senangi; beruang, kupu-kupu, panda, penguin, dan penyu. Setiap amplov ditempelkan prangko dan diberi cap pos yang ia pesan ditukang stempel.

Banyak sekali surat yang sudah Alisa simpan. Ia menulis semua surat yang tersimpan di inbox dan outbox. Ia menulis surat dari ayah atau ibu, lalu ia juga yang menulis balasannya. Menulis surat buat Ayu, Santi, Syifa, dan banyak lagi teman-temannya, dan ia membalasnya sendiri. Surat buat Agung, Akbar adik dan kakaknya, lalu ia menulis balasannya. Dari Evi sahabatnya sejak SD, dan ia membalasnya pula.

Seluruh surat isinya saling balas membalas, Alisa yang menulisnya dengan tulisan tangan. Tapi setiap orang dalam surat-surat itu memiliki karakter tulisan tangan yang beda. Tulisan bapak dan ibu dengan gaya tulis indah tempo dulu. Ayu dan Santi menulis huruf agak kecil tidak bersambung, Syifa hampir sama tapi hurufnya agak besar dan sedikit miring tersusun rapi. Agung menulis huruf agak tinggi dan Akbar hurufnya agak bulat. Evi masih seperti dulu, tapi tulisannya makin rapi meski tetap saja banyak merubah model huruf yang diajarkan guru bahasa.

Mungkin karakter tulisan tangan mereka aslinya tidak seperti itu. Alisa hanya mengarangnya, karena selama ini ia tak pernah lagi melihat tulisan tangan termasuk dari mereka orang-orang terdekatnya. Bertemu juga makin sulit. Tulisan tangan dan pertemuan kini tidak penting, semua diserahkan pada telepon, sms atau chatting. Sementara kebahagiaan Alisa muncul ketika membaca surat bertulisan tangan. Dengan tulisan tangan, perasaan dan pesan lebih dapat dirasakan, bahkan merasakan lebih dari kehadiran penulisnya. Bagi Alisa tulisan cetak susah; calibri, times new roman, arial, comic sans MS, book antique, bookman old style, semua sama, seragam, tidak mewakilkan kepribadian penulis surat.

Karena itu Alisa merasa sedih tak ada lagi pak pos datang ke rumah membawa surat. Makanya ia lebih senang tinggal diteras. Setiap setengah jam Alisa berdiri menengok-nengok ke jalan. Mungkin saja tukang pos tiba-tiba datang membawa surat, mungkin surat Evi, Martha, Esti, ibu, atau siapa saja. Kadang pergi memasukkan surat atau mengambil surat dalam kotak posnya dekat pagar. Dari sisi pagar itu pula ia dapat menyapa orang-orang lewat minimal dengan senyum, meski senyum yang mereka beri adalah senyum pada orang sakit jiwa.

Hari itu Alisa membaca surat ibunya yang berisi banyak keprihatinan terhadap Alisa, rindu dan sayangnya, serta cerita-cerita pengalaman di ibu kota dan sejumlah kota yang lain. Alisa menulis surat jawaban:

“…Aku tidak sakit ibu. Aku yakin kekhawatiran ibu dan semua keluarga sangat besar kepadaku, hanya karena menganggapku gila seperti anggapan semua orang. Padahal aku hanya tinggal di ruang jiwa yang berbeda, pelik dan jauh. Justru dari ruang sejauh ini aku dapat menjangkau rindu dan sayang seseorang lebih dari apa yang ia rasakan. Ibu berkunjung ke puluhan kota, aku bertamasya ke negeri kebahagiaan. Di sana senyum tumbuh subur seperti taman di rumah kita ini, tak mengenal kota dan desa, tak ada yang cengeng dan manja dengan teknologi, terang benderang tapi tak gemerlap, ramai dan damai, tak ada histeria dan misteri, dan banyak lagi yang berbeda… aku tidak sakit bu.”

Begitulah Alisa terus menulis dengan tangan dan tinta jiwanya. Alisa memberikan HP dan laptopnya ke orang, karena benda itulah yang membunuh pak pos, mengejek dan memojokkan surat tulisan tangan. Laptop itu juga sebenarnya hanya pemberian bapaknya setelah mendapat jata pembagian laptop, mobil dan rumah mewah dari kantor.

Masa-masa awal pasca libur akhir tahun, warga kembali heboh lagi tentang hilangnya kemampuan pak Bedu menebak jam. Semua mitos tentang pak Bedu menjadi runtuh seketika, secepat ia menebak jam. Tapi warga masih penasaran kenapa secepat itu kemampuannya hilang. Ada yang bilang ia melanggar janji yang diikrarkan ketika pak Bedu memperoleh mustika matahari dari seorang guru. Ada yang beranggapan bahwa pak Bedu sedang dalam proses transisi untuk melepaskan mustika mata elang miliknya, dan siapa pun dapat mewarisi, tergantung bacaan pak Bedu.

Di beberapa tempat terpisah, warkop, warung makan, rumah sakit, pasar, sekolah, dan kampus-kampus, sejumlah orang berlarian kumpul di depan tivi. Wawancara langsung via seluler dengan pak Bedu, lewat HP Rizka anaknya.

“Ah … hehehe …macam-macam saja itu. Saya nda punya apa-apa nak, nda ada kekuatan. Nda ada mustika. Apalagi ingin menyaingi Ketua DPW Asosiasi Paranormal. Bagaimana bisa? Saya ini hanya punya sebuah gardu jualan.”

“Ya, halo pak Bedu … suaranya hilang, putus-putus.”

“Kenapa nak? Suara kenapa? Jual? Hilang?”

“Oo… tentang itu…, saya memang sering memberi informasi jam. Tapi sejak masa liburan akhir tahun nak Alisa dipindahkan ke rumah sakit jiwa oleh keluarganya. Nak Alisa itu setiap hari di teras dan depan rumahnya melakukan sesuatu secara terjadwal. Untuk mengetahui jam, saya cukup menoleh apa yang sedang dilakukan Alisa. Itu saja.”

Setelah telewicara itu, sejumlah orang seolah berdemonstrasi menuju gardu mendatangi pak Bedu. Mereka terlihat marah. Meneriaki dan mununjuk-nunjuk pak Bedu sebagai penipu, ingin popular, cari sensasi, kurang kerjaan, Bedu orang sakit, usir Bedu, laporkan Bedu ke polisi. Pak Bedu hanya merasa heran, siapa yang membuatnya terkenal dan memojokkannya kembali?


makassar 10 desember 2010


catatan:

[1] La’da’ adalah sebuah istilah dalam tradisi Bugis khususnya sekitar wilayah Rappang dan Pinrang, berarti sebuah wadah yang diletakkan di bawah rumah untuk santai beristirahat di siang hari, terbuat dari bamboo atau kayu, luasnya tergantung kebutuhan dan tinggi 50-80 cm. Dalam acara-acara keramaian, biasanya tuan rumah meminjam beberapa milik tetangga atau keluarga sebagai tempat penyimpanan alat dapur dan ibu-ibu bekerja menyiapkan konsumsi.