Sabtu, 14 Januari 2012

do'a Tisya

cerpen hamdan



Galau, resah. Begitulah kira-kira kata yang tepat bagi Tisya, seorang gadis usia dua puluh berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial alias PSK. Di ruang tunggu tamu, teman-temannya kelihatan bergembira dan menikmati hidupnya. Malam-malam mereka sepanjang hari, mengalir, berlayar mengikuti aliran sungai birahi menuju sebuah muara, berhenti tepat di tepi dompet tamunya. Tamu lelaki atau tamu sesama wanita, tua atau muda, semua dibungkus. Yang penting kan dompetnya bisa memenuhi tarif. Tisya pun menjalani malam-malam yang mengalir itu, tetapi dengan kegalauan. Sudah lebih sebulan ia nampak lebih terbebani oleh pikirannya.

Pekan lalu di Sabtu malam, ia mendapat teguran dari Mama Luli karena penampilannya yang kurang bersemangat. Dalam pandangan Mama Luli sebagai germo yang pasti mewakili cara pandang pelanggannya, Tisya bisa dibilang tercantik dan terseksi dari teman-teman yang lain. Banyak tamu selalu ingin main bersamanya. Bahkan beberapa pelanggan harus menelpon lebih awal untuk mengetahui jam-jam buking yang masih kosong untuk Tisya. Dan itupun akhirnya, khusus bagi Tisya terpaksa tidak menerima order untuk masa pakai semalam atau setengah hari ke atas, ia hanya menerima hitungan jam, maksimal lima jam, agar pelanggan lain dapat kesempatan. Agar pelanggan lain tetap dan betah memilih tempat itu. Jika jam Tisya padat, orderan terpaksa dialihkan ke Ruri , Mina, atau Lala. Mereka sebenarnya nda punya beda dengan Tisya, hanya pelanggan saja yang selalu menginginkan Tisya. Tisya juga menjadi kebanggaan tersendiri, hingga teman-temannya kadang merasa sepi berlayar tanpa kehadiran Tisya di kompleks lacur itu.

Jelas saja Mama Luli marah dan menegur Tisya karena tingkahnya bisa mempengaruhi bisnis hiburan seks terbesar di jalan Nusantara ini. Bisnis yang ia rintis dengan modal seorang PSK cantik dan belakangan menjadi almarhumah ibu kandung Tisya. Karena setelah mendapat teguran Tisya tetap saja kelihatan galau dan resah, maka Mama Luli memanggil Tisya dengan baik-baik.

“Tisya, kamu nda boleh terus-terus seperti itu, usaha ini bisa bangkrut. Aku sudah tua dan walau mungkin Tuhan tidak memanggilku aku tetap saja akan mati. Hanya kamu yang dapat melanjutkan bisnis ini.”

“Justru itulah Mam... Itulah yang aku pikir selama ini dan membuatku resah dan galau seperti ini.”

“Oh yaa? Kenapa kamu galau? Karena kamu nda punya anak sebagai penerus usaha nanti? Makanya, kan saya sering bilang, rajinlah berdoa pada Tuhan. Tuhan itu Maha Mendengar dan Maha Tau pada siapa Ia patut menjawab doanya.”

“Mam... saya bahkan sering berdoa sambil curhat padaNya. Berterus terang bahwa saya sungguh iri pada si Maryam ibu Al-Masih. Aku minta pada Tuhan kiranya Ia berkenan mengutus seorang malaikat lagi padaku sebagai mana ia mengirimnya pada Maryam dahulu. Dan kelak karena anakku dari malaikat itu tidak mungkin menjadi Nabi, ya cukup menjadi wali, pendeta, bikshu, atau apalah, boleh juga menjadi seperti Pak Amur imam masjid sebelah.”

“Hmm... artinya, kamu ingin anakmu tidak melanjutkan bisnis ini kan?”

“Belum tentu Mam! Sejak setahun terakhir aku selalu aktiv memberi personal bonus satu ronde buat pelanggan tertentu, dengan syarat tanpa jurus pengaman. Dan sejak itu pula aku membiarkan sperma mereka mendarat dan bekerja di rahimku. Mungkin saja nanti ada yang jadi anak dan kelak bisa menjadi penerus bisnis kita. Kalau aku punya anak 5 orang, aku ingin cukup seorang saja keturunan langsung dari malaikat.”

Begitulah akhirnya, setiap kali Mama Luli memanggilnya, Tisya bercerita banyak hal tentang apa yang ia pikirkan. Tetapi inti masalahnya bukan soal iri pada Maryam dan ingin punya anak malaikat. Tisya bertekad untuk merubah strategi. Tisya berpikir bahwa bisnis PSK tidak lagi prospektif di masa-masa mendatang. Memang banyak orang mengaggap bahwa pelacuran tidak mungkin lenyap dari dunia, karena ia sudah ada sejak jaman bahola. Namun Tisya melihat ini sebagai bisnis yang komoditi utamanya adalah seks. Bisnis ini akan melemah, mati perlahan. Ia teringat pada Mas Endro pelanggan setianya yang paling baik dan berduit, kelaminnya melemah, mati perlahan, saat permainan mereka mancapai puncaknya.

“Mas Endro kalo udah loyo kan bisa ditunggu, beberapa menit mekar lagi, atau bisa datang lagi nanti. Begitu juga dalam bisnis terjadi fluktuasi, melemah menguat, itu soal wajar dan pasti.” Mama Luli coba mengimbangi dalam upayanya yang kesekian kali mengembalikan fokus Tisya.

Sesekali hingar bingar musik masuk menghentak, mendentum menembus ke ruang transaksi itu ketika pintu kedap tersingkap oleh orang-orang yang masuk dan keluar. Dari pintu itu pula aroma pengab pembangkit syahwat, hilir mudik menyusup hingga ke urat saraf. Birahi merayap liar tak bertuan. Di luar, gerimis dan sepoi-sepoi angin pantai nan romantis dan suara masjid tak mampu menerobos serta mengintervensi suasana rumah lonte yang pengap, remang dan mabuk itu.
 

Tisya tidak terbujuk oleh Mama Luli. Ia sangat yakin dengan pikirannya tentang perubahan trend pergaulan beberapa tahun ke depan. Orang-orang tidak lagi memenuhi hasrat seksnya dengan cara pergi ke pelacuran. Cara ini mungkin hanya sesekali sebagai selingan atau sekedar mencari suasana beda. PSK itu makan biaya banyak, dibayar mahal dan hanya dipakai beberapa jam. Berat diongkoslah. Sekarang trend pergaulan baru sudah dimulai. Cukup dengan pacaran, hasrat seks sudah bisa berjalan dengan rutin dan gratis, sampai kapan saja, sampai perasaan bosan. Pacar diputuskan dan cari pacar baru, ngeseks lagi sampai bosan, begitu seterusnya. Setahun dapat tiga pacar, hitung saja seorang masa pakainya empat bulan. Ngseks dua samapai tiga kali seminggu. Aman. Tanpa ongkos besar. Semua laki dan perempuan menjalaninya.

“Sory Mam..., dibanding menjadi pacar para lelaki, kelaminku dipakai gratis, menjadi pelacur memang lebih mulia”, lanjut Tisya pada Mama Luli pada kesempatan yang lain. “Pelacur menghasilkan sesuatu untuk meneruskan hidup secara mandiri, tapi menjadi pacar nda punya nilai apa-apa kecuali kata-kata indah cinta. Garam aja harganya seribu rupiah, masa kelamin digratisin? Mahalan garam dong? Yah... tapi karena keberadaan PSK terlanjur terancam dengan trend baru itu, menurut saya Mam, dari sekarang kita harus perlahan membuka bisnis rumah kost atau rumah kontrakan.”

“Kenapa rumah kost atau kontrakan?”
 

“Karena itulah tempat paling aman bagi mereka lakukan, makanya kita ciptakan kondisinya dan siapkan fasilitasnya, mereka menyewa atau mengontrak ke kita. Multi efeknya nanti anak-anak kita tidak perlu lagi menjadi PSK seperti kita sekarang. Mereka bisa sekolah dengan baik, dapat pacar. Kalo mau gituan, mereka ngontrak rumah kost kita. Saya nda mau anak saya nanti jadi PSK. Apapun bentuknya, PSK tetap saja tidak terhormat. Kalo yang gratis-gratis tetap terhormat karena bukan PSK.”
***

Dengan senyumnya yang paling manis, Tisya menempelkan spanduk kecil di teras rumah kostnya: “Tersedia Kamar Kost Pria Wanita. Hub. 085394854940”. Di beberapa kawasan seputaran kota, rumah kost yang sama milik Tisya sedang dalam tahap penyelesaian. Beberapa rumah di kompleks juga sudah dibelinya. Semua atas namanya sebagai pemegang hak waris Mama Luli. Tisya menarget beberapa lokasi khususnya kawasan kampus dan industri, menurut pikiran dan pengalamannya berpindah-pindah rumah kost, kedua kawasan itu sangat digemari kelas menengah ke bawah untuk menyalurkan birahi atas nama cinta.

Untuk mendorong percepatan trend di tingkat lokal kotanya, Tisya menciptakan selera dan citra sensual dalam segala aspek komoditi. Ia melakukan kemitraan dengan beragam perusahaan khususnya entertain yang mengelola hiburan. Semua perusahaan yang melakukan promosi atau iklan sedapat mungkin menggunakan perempuan seksi atau kalimat-kalimat yang setiap membacanya, menghipnotis pikiran siapa pun ke soal seks. Ia yakin hanya berapa tahun saja seks akan menguasai pikiran dan gaya hidup. “Seks minded” harus menjadi raja pada pikiran setiap orang.

Video dan gambar seksi harus dibantu peredarannya lewat handphone, karena handphone dapat menembus privasi setiap orang. Distribusi busana harus dikuasai agar ia dapat mengatur hanya design tertentu yang bisa masuk ke kota itu, design seksi tanpa harus terlalu telanjang. Ia juga menguasai visualisasi musik-musik MP3, musik harus memakai video clip dan videonya harus sensual. Ia menciptakan selera musik untuk tontonan bukan didengar. Segala penjuru Tisya menerjang.

Tisya memang cerdas dan lihai. Investasinya dimana-mana. Tapi sangat sederhana. Sedikit sekali orang yang dapat membaca gerakannya. Ia melakukan gempuran ke segala sudut, seperti setiap kali ia digempur Mas Endro. Selain itu ia masih menyimpan dendam pada mereka yang ia sebut sebagai perempuan dan laki-laki gratisan yang memicu munculnya trend pergaulan baru dan menggeser keberadaan PSK. Padahal dulu karirnya sudah lumayan, beberapa langkah lagi ia dapat menembus predikat selebritis dari kalangan PSK. Tapi semuanya sudah berlalu. Saatnya melakukan serangan balik. Tisya menyiapkan kamar khusus untuknya di setiap rumah kost miliknya untuk keperluan monitoring dan evaluasi.

Malam itu Tisya tersenyum-senyum. Baru semingguan bulan puasa dan lebaran berlalu, sepasang penghuni baru sedang asik-asik di sebelah kamarnya, mereka baru balik dari kampungnya masing-masing dan malam ini ketemu lagi dalam periuk kangen. “Aduk terus mang...!” Kata Tisya dalam hati sambil senyum sendiri. Di rumah kost lain pasti banyak yang lagi ngaduk juga. Jelas saja Tisya merasa berhasil. Bayangkan, mereka baru saja selesai berjabat tangan dengan ibu dan ayahnya pake nangis segala, mohon maaf lahir batin, minal aidin wal faidzin. Hanya sekejab dari keringnya air mata maaf, malam ini mereka sudah beradu, bukan lagi tangan yang berjabatan tapi ...****. “Hehehe... nikmatilah malam-malammu wahai pendusta maaf, wahai penghianat ortu”, demikian kata Tisya dalam hati.

Tisya lebih senang bermalam di kamar kostnya yang satu ini, karena diam-diam ia terpikat juga dengan cowok yang tinggal sendiri di kamar sebelah barat. Cowok ini selalu mengingatkannya pada Mas Endro. Tisya juga masih ingin gitu-gituan. Ia rencana akan menggarapnya besok pagi. Tisya tertidur sambil memikirkannya. Esok pagi dengan pakaian tidur produk pemasarannya, motif kembang pink yang transparan, menyiratkan motif garis pada CDnya, dan branya yang hitam, berkunjung ke kamar cowok taksirannya.

Di dinding kamar itu tertulis sebuah doa: “Tuhan, jika engkau berkehendak, tolong sisakan aku seorang saja perawan, meskipun ia tidak semulia Maryam ibu Isya Al-Masih.” Tisya spontan mengingat doa yang selalu ia sampaikan. Dalam pikiran Tisya, mungkin inilah laki-laki malaikat yang pernah ia minta pada Tuhan. Apa arti doa bagi Tisya yang lihai dan senior dalam menggoda birahi. Maka pagi di kamar itu mengalir, berlayar mengikuti aliran sungai birahi menuju sebuah muara, tak perlu berhenti di tepi dompet.

Di tempat lain, Seisi kota tanpa kenal waktu pagi siang malam, semuanya mengalir berlayar mengikuti aliran sungai menuju sebuah muara, tak perlu berhenti di tepi dompet.


Makassar, 11 Januari 2012