Selasa, 07 Agustus 2012

ponsel doja safir

Cerpen hamdan
Kumandang azan terbang secepat cahaya memasuki ruang-ruang di seluruh tempat dalam lingkar radius kelurahan Padang Panjang. Kumandang itu selalu berbunyi tepat pada waktunya, tak kurang dan tak lebih sedetik pun. Safir cukup piawai dalam mengatasi tugasnya sebagai penjaga masjid. Ia mampu mengakali agar jam weker yang biasa dipakai untuk memasang alaram waktu, dapat secara otomatis tersambung ke MP3 Player yang memainkan tadarrus alquran. Untuk ukuran kampungnya yang membatasi perkotaan dan pedesaan, hal yang ia lakukan itu sangat luar biasa, apalagi terkait dengan penguasaan teknologi. Warga lain umumnya hanya pemilik produk teknologi, mereka membelinya setelah mengumpul-ngumpul hasil kerja keras sepanjang dan setiap hari. Safir lebih dari itu, dapat mengutak-atik sejumlah produk elektronik, bahkan dapat memodifikasinya sehingga memilki fungsi baru sesuai kebutuhan yang diinginkan.

Sebelumnya urusan membunyikan tadarrus alquran di masjid memang sudah menggunakan cukup teknologi, tetapi yang bertugas harus betul-betul berjaga-jaga agar tidak telat membunyikan masjid, terutama di waktu-waktu ngantuk menyerang yakni saat ashar dan subuh. Jika lalai, bisa jadi shalat jama’ah juga akan telat dilaksanakan atau bahkan tidak sama sekali. Jika musim hujan datang, si penjaga masjid yang biasa dipanggil doja, harus menyiapkan payung untuk dapat mencapai masjid dari rumahnya. Apalagi bila hari juma’at, doja harus lebih siaga ekstra bertanggung jawab terhadap kelancaran shalat jum’at.

Pernah suatu Jum’at doja Sarip telat membunyikan MP3 tadarrus yang berfungsi mengingatkan sekaligus mengajak warga untuk shalat jum’at. Doja Sarip dapat teguran dari pak lurah setelah pak lurah mendapat laporan dari pak rt. Doja Sarip malu dan mengaku salah tapi juga membela diri bahwa doja juga manusia, yang sayangnya job doja jauh seribu kali lipat di bawah gaji gubernur. Doja harus pergi mencari job lain untuk mencukupi hidup keluarganya dan itu berarti doja juga perlu interval, perlu durasi untuk beralih dari job satu ke job lainnya. Wajar bila doja terlambat karena kelelahan atau ketiduran, atau harus menyelesaikan kerjaannya lebih dulu yang tanggung untuk ditinggal. Diam-diam pak rt sebenarnya ingin mempromosikan menantunya untuk menjadi doja baru. Dengan membesar-besarkan masalah undisipliner doja Sarip, pak rt dapat menjalankan rencananya.

Pak rt memiliki visi kekuasaan. Meskipun ia sadar bahwa ia tak mungkin jadi pak lurah atau pak doja, tetapi ia bisa menjadi seorang figur yang dapat memainkan peran dalam mengatur para pejabat di seluruh wilayah kelurahannya. Dengan begitu kekuasaan tetap ada di tangannya. Tidak jarang di musim suksesi pemilukada, pilcaleg, sampai pilpres ia sibuk menerima tamu dari sejumlah tim sukses yang menawarkan berbagai hal jika nanti pak rt mampu memenangkan calon mereka. Sejak tiga tahun lalu ia mempromosikan menantunya dengan cara membentuk opini warga, memblowup kelemahan pejabat doja, dan mengangkat citra menantunya dengan berbagai cara pencitraan. Sudah tiga tahun pula ia gagal meloloskan Diman menantunya yang pernah kuliah tapi tidak tamat itu.

Menjadi doja memang bukan hal mudah dan menyenangkan. Karena bila jadi doja menyenangkan, bukan hanya Diman, pasti banyak orang yang mau jadi doja masjid. Masalahnya mereka harus pandai menyiapkan diri, jiwa, raga, pikiran dan waktunya dalam lima kali sehari semalam. Menyiapkan diri artinya pribadi harus tidak bertentangan dengan masjid. Jiwanya harus berada dalam masjid dan dalam seluruh keimanan publik. Raganya harus disiapkan untuk mengelola seluruh hal yang terkait dengan kebutuhan peribadatan warga. Pikiran harus dikerahkan sepenuhnya pada seluruh hal terkait penyelenggaraan masjid sebagai institusi. Waktu harus diatur sedemikian rupa sehingga seluruh kegiatan, meski urusan pribadi, harus mengalah dengan jadwal masjid dan jadwal shalat yang telah disusun di masjid.

Karena itulah Safir memikirkan cara-cara yang lebih memudahkan urusan. Setidaknya, walaupun ia belum sampai ke masjid, tadarrus dapat berbunyi tepat pada waktunya setengah jam sebelum waktu shalat. Sebelumnya, ia menggunakan jam weker biasa yang disambungkan ke bagian tertentu pada MP3 player. Cara ini lebih sering masih membingungkannya, karena ia tidak bisa memastikan apakah tadarrus betul-betul dapat berbunyi. Beberapa bulan terakhir Safir sudah bisa menggunakan handphone untuk membunyikan tadarrus dari jarak jauh, sejauh jangkauan signal. Cukup dengan memencet nomor ponsel masjid lalu menekan tombol call, lalu ponsel tadarrus masjid menjawab otomatis, dan masjid sudah dapat bertadarrus. Ia sendiri dapat mendengarkan bunyi itu untuk memastikan bahwa tadarrus memang telah berbunyi. Jika ia sudah mendengar tadarrus itu, ia cukup memencet tombol mengakhiri call. Konsekwensi menggunakan cara ini hanya mengeluarkan sedikit pengeluaran ongkos pulsa.

Suatu hari ketika baru setengah jam sedang bekerja di sebuah pasar, Safir mendapat call dari seseorang bernomor baru, belum tersimpan dalam phone book.

“Ya, halo... kenapa? Dengan siapa nih...? Bukan, bukan... saya Safir. Maaf anda sepertinya salah sambung...”

Tiba-tiba Safir gelisah bukan kepalang. Ia ingin segera pulang tapi pekerjaan belum selesai, masih pagi, masih lama. Waktu shalat juga masih lama. Tetapi kasus salah sambung itu seperti hantu baginya dan mengganggu pekerjaan. Jangan-jangan terjadi call salah sambung pada nomor masjid? memang hanya ia yang menyimpan nomor ponsel masjid, tapi juga bisa saja nomor itu jadi sasaran salah sambung. Masjid akan tadarrus pagi hari jauh sebelum dzuhur. Atau tadarrus pukul 10 malam, atau 12 malam jauh setelah jadwal isya. Wah, gawat. Warga bisa protes. Pak rt pasti mulai mendapat bahan cerita menyebarkan hasut.

Idenya yang cemerlang dalam bidang kedojaan itu tiba-tiba menjadi hantu peneror yang menghidangkan ketakutan, kegelisahan dan celaka duabelas. Seorang yang melihat hantu dalam dunia penampakan boleh menutup mata, menyelimuti tubuh rapat-rapat, membaca jampi dan segera merasa aman. Tetapi hantu yang satu ini lebih sangar tanpa penampakan, ia masuk ke ruang-ruang batin dan pikiran, dan dengan palu raksasanya ia menghancurkan bangunan-bangunan syaraf konsentrasi. Hanya dalam setengah jam Safir melakukan tiga kali kesalahan dalam pekerjaannya melayani para konsumen toko elektronik bossnya. Tentu saja boss ngomel dan berulang-ulang memarahinya. Paling sadis dan menyakitkan saat boss mengatakan padanya, “kalau tidak mampu lagi kerja, ya sudah, berhenti saja”.

Hantu salah sambung itu tidak sendiri. Ia punya teman hantu yang dan tak kalah sangar dan menakutkan. Safir sedang jatuh cinta dengan Narsi anak pak rt, dan Narsi juga menerima cintanya. Cinta mereka semakin tumbuh bagai taman bunga dengan aneka kembang bermekaran. Tapi semua itu mereka sembunyikan apalagi terhadap pak rt, bapak si Narsi, yang sebelumnya membenci Safir karena mengalahkan menantunya dalam bursa doja masjid dan ini kekalahan kali kedua. Bila call salah sambung terjadi ke ponsel masjid, ini bisa jadi pemicu baru bagi pak rt untuk mengkampanyekan anti Safir. Kebencian pak rt terhadap dirinya akan makin tersulut dan pasti merembet ke persoalan stabilitas hubungannya dengan Narsi. Padahal bagi Safir, Narsi sangat berarti dalam hidupnya. Di seluruh wilayah kelurahannya, hanya Narsi yang punya pikiran berbeda. Narsilah gadis satu-satunya yang masih menganggap pekerjaan doja, menjaga dan memelihara masjid itu adalah sesuatu yang mulia. Narsi ingin membawa hidupnya pada ruang-ruang kemuliaan. Inilah yang membuat Safir takut kehilangan Narsi yang bisa saja terjadi karena call salah sambung ke ponsel masjid.

Safir mengirim sms ke Narsi; “apakah kau masih akan mencintaiku bila aku tidak lagi menjadi doja masjid?” Lalu Safir mengatur nada sms hanya menggunakan nada getar seperti debaran hatinya saat itu. Dan sekejab ponselnya bergetar; “k’Safir, aku mcintaimu krn hatimu sll di masjid.” Hati Safir bergetar makin kencang. Makin kencang karena digetarkan oleh dua arus kencang, arus salah sambung dan arus Narsi kekasihnya. Getaran itu terasa beda karena tercipta dari ketegangan, ketegangan antara rasa takut dan rasa bahagia, ketegangan antara bencana dan cintanya.

“Safiiir... sebagai teguran terakhir, mulai detik ini, kau saya hentikan kerja selama seminggu di tempat ini. Setelah itu bila masih terulang, kau akan kupecat!” Demikian kata bossnya yang tak mampu lagi melihat kesalahan berulang-ulang dari Safir.

Safir dengan sedikit lemah pulang ke rumah namun lebih tertarik mampir ke masjid beristirahat. Ia duduk memandang ponsel masjid. Ponsel itu menjadi wajah Narsi dalam kelembutan senyum dan bening matanya. Safir dengan refleks memperbaiki sandar duduknya melihat wajah itu. Lalu ponsel itu menjadi wajah pak rt yang mirip sekali dengan wajah Narsi. Sangat mirip. Dari wajahnya, pak rt bisa dibilang Narsi yang berkumis dan berambut pendek. Wajahnya tampan tetapi hatinya bopeng seperti jalan bertabur lubang dan lumpur. Lalu ponsel itu menjadi bossnya yang tak henti-henti marah sambil menghitung uang dan memisahkannya dalam kotak debet kredit modal dan saldo. Ponsel kembali menjadi wajah Narsi, lalu Safir tertidur. Ia lelah memikul ketegangannya.

Ponselnya bergetar dan membangunkan Safir. Oh, ini pasti sms Narsi. Dilihatnya cepat. Ah, ternyata getar alaram, ia lupa mengembalikan nada getar sms pada nada dering kesukaannya. Kini waktunya membunyikan tadarrus untuk shalat dzuhur. Masjid telah berbunyi dan Safir membersihkan kamar kecil, tempat wudhu dan tempat alas kaki, sambil merenung-renung bagaimana cara agar tidak terjadi salah sambung pada ponsel masjid. Masjid asuhan Safir biasanya di waktu-waktu tertentu memiliki banyak jama’ah dan kadang biasa-biasa saja. Biasa-biasa saja maksudnya hanya terdiri dari beberapa saja orang tua usia lanjut, pensiunan, dan remaja masjid.

Segera setelah shalat, Safir menuju ke pusat penjualan dan service ponsel merek “ndal” buatan Indonesia. Merek ponsel andalannya. Safir ingin memesan sebuah ponsel dengan settingan khusus yang dapat menolak seluruh jenis panggilan dan pesan baik sms maupun mms dari nomor manapun, kecuali dari nomor ponselnya sendiri dan nomor ponsel Narsi. Nomor Narsi sesekali pasti dibutuhkan misalnya bila ponsel Safir bermasalah atau hilang. Bila pemegang hak atas merek ponsel itu tak dapat membantunya, toh Safir dapat melakukannya sendiri, karena ia memiliki kemampuan mengutak-atik ponsel baik hardware maupun software. Ia hanya tak ingin menganggu hak orang lain.

Cara itulah pikir Safir, satu-satunya yang dapat menyelamatkan masjid, dirinya, pekerjaannya, dan terutama cinta mereka; Narsi dan Safir. Bagaimanapun pentingnya tanggung jawab doja kepada masjid, tetapi pekerjaan juga tak kalah penting bagi Safir. Menjadi doja hanya menjamin kehidupan akhirat, tetapi tidak menjamin kehidupan selama hidup di dunia. Doja bukan pegawai negeri meskipun urusannya dalam beberapa hal lebih sulit dari beberapa pekerjaan pegawai negeri. Lebih banyak pegawai datang ke kantor bercanda dalam menghabiskan jam-jam kantor. Safir bekerja siang malam tanpa hari libur. Apalagi Safir juga bercita-cita menyunting Narsi. Ia harus memiliki kemampuan finansial. Doja juga perlu hidup.

Safir sedang akan istrahat malam hari, ketika ponselnya berdering. Ingatannya segera ke Narsi. Safir memang selalu mengingat kekasihnya itu hampir di setiap moment, apalagi saat ponsel berdering. Ia selalu ingin bersama Narsi, tetapi itu bisa membuat hubungan mereka hancur sebelum tumbuh. Siapa yang tak kenal pak rt yang juga sebenarnya hantu. Ponsel terus berdering. Nomor tak dikenal. Tiba-tiba saja ingatan Safir betul-betul beralih ke pak rt. Jangan-jangan pak rt menelponnya, mungkin bukan salah sambung, tapi pak rt pandai bertanya layaknya interogasi dan menjebak orang dalam logika kesalahan. Jawab tidak... jawab tidak...? Akhirnya Safir menerima panggilan itu.

“Mas Safir, kami dari ponsel “ndal”. Kami akan memenuhi permintaan anda. Tetapi beri kami waktu tiga hari dan anda akan kami telepon untuk komunikasi selanjutnya.”

Betapa bahagianya Safir menerima telepon itu. Ia memang sudah menawarkan pada perusahaan ponsel bahwa cara ini bisa diterapkan ke semua doja masjid di seluruh wilayah negeri ini. Hitung-hitung gagasan itu bisa sebagai projek percontohan bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sosial. Tetapi sebagai doja yang berpikir doja, Safir tidak banyak berharap idenya dapat diterima oleh perusahaan atau negara dan menjadi projek nasional. Doja sejak dulu hanya doja bersama masjidnya.

Makassar, 18 Desember 2011

aku tidak sakit

cerpen kedip kecil kemuning (hamdan)
























“Permisi, beli rokok sebungkus pak. Oh iya, Sekarang jam berapa ya pak?”

“Jam 9. Emm… kira-kira lebihnya 20 menitlah dek.”

“Busyet, tepat lagi jawaban orang tua ini”, bisik si penanya sambil berlalu tersenyum sipu setelah membayar rokoknya.

Setiap pagi selalu saja ada yang mampir belanja dan menanyakan jam kepada pak Bedu di gardu jualannya di simpang tiga. Padahal pak Bedu sama sekali tidak punya alat waktu, sementara 8 dari 10 orang yang bertanya itu umumnya memiliki jam tangan atau HP yang setiap saat bisa dilihat. Mereka hanya merasa senang dan lucu saat mendapat jawaban pak Bedu yang selalu tepat dengan margin error 5%. Tapi pak Bedu tidak tau tentang semua itu. Ia hanya tau bahwa delapan bulan terakhir pelanggannya semakin bertambah dan lebih setia, cukup dengan bonus informasi waktu.

Tak disangka pak Bedu menjadi terkenal dikalangan warga sebagai orang dengan kemampuan unik. Di warkop, warung makan, rumah sakit, pasar, sekolah, dan kampus-kampus. Dalam setiap kesempatan ngobrol, seringkali temanya bergeser ke dunia spiritual atau paranormal dan pak Bedu menjadi tokoh lokal di antara deretan tokoh-tokoh nasional seperti Mbah Marijan, Ki Jokobodo, dan lain-lain.

“Pagi pak Bedu, beli roti tawar dan seleinya.”

Setelah membayar dan mengambil belajanya, gadis itu segera balik ke rumahnya, duduk di teras dikitari taman bunga. Duduk diam menulis dan membaca apa saja yang ia siapkan di meja. Sesekali ia menyapu taman meski masih nampak bersih, menggoyang pohon mangga golek agar daun kering lebih cepat jatuh dan disapu. Di antara semua pelanggan pak Bedu, dialah satu-satunya yang paling rajin belanja ke pak Bedu dan dia pula yang tak pernah menanyakan jam.

Begitulah Alisa, sejak hampir sembilan bulan lebih banyak melewati hari-harinya di teras dan taman. Ia bahkan telah menyiapkan la’da [1] ukuran mini untuk berbaring atau tidur jika waktunya. Di samping la’da itu juga ia siapkan sebuah kotak untuk menyimpan carik-carik kertas yang ia sudah tulisi. Jika pak Bedu dianggap unik, maka Alisa dianggap sakit oleh orang tua dan keluarganya, teman-temanya, dan juga oleh warga sekitar lingkungannya. Ia juga menjadi bahan dalam cerita-cerita warga —untuk tidak menyebut pergunjingan, bahkan sebenarnya menyaingi ketenaran pak Bedu dalam tema yang berbeda.

Bagi semua orang, banyak perubahan aneh yang tampak pada diri Alisa dan karenanya ia divonis sakit jiwa. HP dan laptop mahal yang dulu ia miliki diberikan pada Rizka anak pak Bedu. Katanya Ia benci punya HP dan laptop, sedang Rizka mungkin lebih butuh dan bermanfaat. Seminggu yang lalu ibu dan bapaknya jadi sangat marah ketika datang dari Jakarta. Bukan karena HP dan laptop yang disumbangkan ke orang, tapi karena mereka sangat sulit berkomunikasi dengan Alisa. Sebagai anggota Dewan pusat, bapaknya dan berarti juga ibunya harus tinggal 5 tahun di ibu kota. Sedang Alisa tidak senang dan menolak ikut ke ibu kota. Satu-satunya jalan komunikasi hanya dengan telpon, sms atau chatting.

“Apa kamu ingin saya dan bapakmu meninggalkan karir bisnis dan pekerjaan yang sudah dirintis sejak dulu dan tinggal di kampung ini melarat?” Tegas ibunya dengan kesal. Sangat kesal karena semua saran dari ahli psikologi anak dan ahli jiwa yang pernah ia datangi, telah ia lakukan dengan sempurna untuk Alisa. Bahwa anak pada dasarnya tidak membutuhkan banyak materi. Anak tidak boleh terkekang hidup dan pikirannyanya. Yang lebih utama adalah kebutuhan bathin. Komunikasi harus terjaga dengan baik dan intens, hingga keterbukaan bisa tercipta. Macam-macamlah.

Alisa tak bergeming, tetap di teras diam menulis dan membaca surat-suratnya. Semua surat dimasukkan ke amplov dan tersusun rapi dalam kotak plastik. Dalam kotak itu terbagi dua bagian dengan label inbox dan outbox. Kemudian kedua bagian itu diberi lebel; ibu dan ayah, saudara, keluarga, teman, sahabat. Masing-masing bagian kecil itu diberi warna dan gambar hewan yang ia senangi; beruang, kupu-kupu, panda, penguin, dan penyu. Setiap amplov ditempelkan prangko dan diberi cap pos yang ia pesan ditukang stempel.

Banyak sekali surat yang sudah Alisa simpan. Ia menulis semua surat yang tersimpan di inbox dan outbox. Ia menulis surat dari ayah atau ibu, lalu ia juga yang menulis balasannya. Menulis surat buat Ayu, Santi, Syifa, dan banyak lagi teman-temannya, dan ia membalasnya sendiri. Surat buat Agung, Akbar adik dan kakaknya, lalu ia menulis balasannya. Dari Evi sahabatnya sejak SD, dan ia membalasnya pula.

Seluruh surat isinya saling balas membalas, Alisa yang menulisnya dengan tulisan tangan. Tapi setiap orang dalam surat-surat itu memiliki karakter tulisan tangan yang beda. Tulisan bapak dan ibu dengan gaya tulis indah tempo dulu. Ayu dan Santi menulis huruf agak kecil tidak bersambung, Syifa hampir sama tapi hurufnya agak besar dan sedikit miring tersusun rapi. Agung menulis huruf agak tinggi dan Akbar hurufnya agak bulat. Evi masih seperti dulu, tapi tulisannya makin rapi meski tetap saja banyak merubah model huruf yang diajarkan guru bahasa.

Mungkin karakter tulisan tangan mereka aslinya tidak seperti itu. Alisa hanya mengarangnya, karena selama ini ia tak pernah lagi melihat tulisan tangan termasuk dari mereka orang-orang terdekatnya. Bertemu juga makin sulit. Tulisan tangan dan pertemuan kini tidak penting, semua diserahkan pada telepon, sms atau chatting. Sementara kebahagiaan Alisa muncul ketika membaca surat bertulisan tangan. Dengan tulisan tangan, perasaan dan pesan lebih dapat dirasakan, bahkan merasakan lebih dari kehadiran penulisnya. Bagi Alisa tulisan cetak susah; calibri, times new roman, arial, comic sans MS, book antique, bookman old style, semua sama, seragam, tidak mewakilkan kepribadian penulis surat.

Karena itu Alisa merasa sedih tak ada lagi pak pos datang ke rumah membawa surat. Makanya ia lebih senang tinggal diteras. Setiap setengah jam Alisa berdiri menengok-nengok ke jalan. Mungkin saja tukang pos tiba-tiba datang membawa surat, mungkin surat Evi, Martha, Esti, ibu, atau siapa saja. Kadang pergi memasukkan surat atau mengambil surat dalam kotak posnya dekat pagar. Dari sisi pagar itu pula ia dapat menyapa orang-orang lewat minimal dengan senyum, meski senyum yang mereka beri adalah senyum pada orang sakit jiwa.

Hari itu Alisa membaca surat ibunya yang berisi banyak keprihatinan terhadap Alisa, rindu dan sayangnya, serta cerita-cerita pengalaman di ibu kota dan sejumlah kota yang lain. Alisa menulis surat jawaban:

“…Aku tidak sakit ibu. Aku yakin kekhawatiran ibu dan semua keluarga sangat besar kepadaku, hanya karena menganggapku gila seperti anggapan semua orang. Padahal aku hanya tinggal di ruang jiwa yang berbeda, pelik dan jauh. Justru dari ruang sejauh ini aku dapat menjangkau rindu dan sayang seseorang lebih dari apa yang ia rasakan. Ibu berkunjung ke puluhan kota, aku bertamasya ke negeri kebahagiaan. Di sana senyum tumbuh subur seperti taman di rumah kita ini, tak mengenal kota dan desa, tak ada yang cengeng dan manja dengan teknologi, terang benderang tapi tak gemerlap, ramai dan damai, tak ada histeria dan misteri, dan banyak lagi yang berbeda… aku tidak sakit bu.”

Begitulah Alisa terus menulis dengan tangan dan tinta jiwanya. Alisa memberikan HP dan laptopnya ke orang, karena benda itulah yang membunuh pak pos, mengejek dan memojokkan surat tulisan tangan. Laptop itu juga sebenarnya hanya pemberian bapaknya setelah mendapat jata pembagian laptop, mobil dan rumah mewah dari kantor.

Masa-masa awal pasca libur akhir tahun, warga kembali heboh lagi tentang hilangnya kemampuan pak Bedu menebak jam. Semua mitos tentang pak Bedu menjadi runtuh seketika, secepat ia menebak jam. Tapi warga masih penasaran kenapa secepat itu kemampuannya hilang. Ada yang bilang ia melanggar janji yang diikrarkan ketika pak Bedu memperoleh mustika matahari dari seorang guru. Ada yang beranggapan bahwa pak Bedu sedang dalam proses transisi untuk melepaskan mustika mata elang miliknya, dan siapa pun dapat mewarisi, tergantung bacaan pak Bedu.

Di beberapa tempat terpisah, warkop, warung makan, rumah sakit, pasar, sekolah, dan kampus-kampus, sejumlah orang berlarian kumpul di depan tivi. Wawancara langsung via seluler dengan pak Bedu, lewat HP Rizka anaknya.

“Ah … hehehe …macam-macam saja itu. Saya nda punya apa-apa nak, nda ada kekuatan. Nda ada mustika. Apalagi ingin menyaingi Ketua DPW Asosiasi Paranormal. Bagaimana bisa? Saya ini hanya punya sebuah gardu jualan.”

“Ya, halo pak Bedu … suaranya hilang, putus-putus.”

“Kenapa nak? Suara kenapa? Jual? Hilang?”

“Oo… tentang itu…, saya memang sering memberi informasi jam. Tapi sejak masa liburan akhir tahun nak Alisa dipindahkan ke rumah sakit jiwa oleh keluarganya. Nak Alisa itu setiap hari di teras dan depan rumahnya melakukan sesuatu secara terjadwal. Untuk mengetahui jam, saya cukup menoleh apa yang sedang dilakukan Alisa. Itu saja.”

Setelah telewicara itu, sejumlah orang seolah berdemonstrasi menuju gardu mendatangi pak Bedu. Mereka terlihat marah. Meneriaki dan mununjuk-nunjuk pak Bedu sebagai penipu, ingin popular, cari sensasi, kurang kerjaan, Bedu orang sakit, usir Bedu, laporkan Bedu ke polisi. Pak Bedu hanya merasa heran, siapa yang membuatnya terkenal dan memojokkannya kembali?


makassar 10 desember 2010


catatan:

[1] La’da’ adalah sebuah istilah dalam tradisi Bugis khususnya sekitar wilayah Rappang dan Pinrang, berarti sebuah wadah yang diletakkan di bawah rumah untuk santai beristirahat di siang hari, terbuat dari bamboo atau kayu, luasnya tergantung kebutuhan dan tinggi 50-80 cm. Dalam acara-acara keramaian, biasanya tuan rumah meminjam beberapa milik tetangga atau keluarga sebagai tempat penyimpanan alat dapur dan ibu-ibu bekerja menyiapkan konsumsi.

ditinggalkan

cerpen kedip kecil kemuning (hamdan)


















Perlahan matahari melompati ranting demi ranting menuju pucuk terendah. Melewati gedung-gedung dan rumah berjejeran, yang dikonstruksi megah sedemikian rupa dengan gaya-gaya sensual personal seolah menegaskan kepada matahari bila para penghuni hanya membutuhkan terang, tidak pada panasnya yang menyengat. Alisa menyelesaikan tegukan ketiga dari teh yang dipesannya. Sebuah kafe dengan konsep natural; rimbun pohanan, sejuk, terang selama 24 jam, hingga pengunjung tak lagi merasakan siang atau malam, terik, mendung atau hujan. Matahari, bintang dan bulan tidak lagi menjadi penanda waktu bagi ruang kafe.

“Mengapa kau menceritakan kisah itu padaku Alisa?”

“Aku baru mengarang cerita itu. Aku selalu menceritakannya kepada orang lain agar tidak terlupa”.

Zen belum yakin dengan alasan sesederhana itu. Ia yakin bahwa alasan yang kuat dan tepat selalu mengandung urgensitas serta signifikansi yang lebih dari sekedar takut lupa. Karenanya ia terus mendesak alasan Alisa. Apalagi cerita itu baginya memiliki pesan yang cukup kuat.

Alisa melanjutkan ceritanya yang lain, tentang dirinya yang mengalami perasaan ditinggalkan dan kini kehilangan. Ditinggal oleh diri sendiri, lalu jauh dari kehidupan yang sesungguhnya. Terlalu sedikit orang dapat bersama dirinya, betul-betul dengan diri sendiri dapat menentukan dan memutuskan pilihan-pilihan dalam hidup. Alisa memandang sejumlah hidangan dan minuman ternama di depan Zen.

“Siapa yang menentukan seleramu Zen? Selera makan, minum, fantasi, seks, birahi, kecantikan, cinta, atau apa sajalah?”

Alisa memesan secangkir lagi setelah meneguk habis yang tersisa dari cangkirnya. Seteguk teh sangat jelas mengalir di rongga leher menerobos hingga ke lubuk hatinya. Ia sedang menelan hidup pekat manis. Senang, sedih, marah, diam, takut, gembira, semangat, tersinggung, senyum, dan sebagainya, tidak pernah lagi manjadi bagian diri. Semua telah dikondisikankan orang lain, segelintir orang yang sedang berkuasa dengan hirarki tak nampak. Mereka merancang selera dan dipajang di etalase, mall, pasar, toserba, supermarket, minimarket, warung, toko, di mana-mana, termasuk di kafe. Lalu setiap orang pada setiap generasi lahir membentuk dirinya dari pajangan-pajangan itu, menegaskan kediriannya dari ramuan selera itu.

Zen sedang mungunyah makanan ringan favoritnya. “Akulah sendiri yang menentukan semuanya.”

“Oh ya? Benarkah? Kau jatuh cinta dan kini sedang menjalin asmara dengan Chintya, gadis yang menurut seleramu sangat ideal. Padahal orang lainlah yang merancang semua selera termasuk selera Chintya dan seleramu sejak lahir. Coba kau lihat; rambutnya olahan Ryekke Salon. Wajah, kulit, body, semua hasil racikan dari Rara Beauty Spa dengan beragam konsep dan merek produk kecantikan. Pakaiannya dibeli dari butik mewah dengan merek termahal dan terbaru. Pasar Zen! Pasar yang mengkonstruksi seleramu dan kekasihmu, lalu dengan itu juga engkau berselera dan cintamu jatuh padanya.”

***

“Pernahkah engkau mengalami perasaan ditinggalkan?”

Pertanyaan itu terus mengikutinya tak memilih ruang dan waktu. Kadang datang bagai petir menyambarkan ketajaman cahaya bersusulan gelegar guntur memekak telinga dan menggetarkan apa saja yang dicapainya. Lalu jantungnya pun berdetak kencang mengguncang hingga ke pojok-pojok nadi. Kadang datang sebagai gadis kecil cantik dengan bulu mata lentik dan kedalaman pandang mata yang tak terjangkau dasarnya, serta kelembutan suara padu dengan bibir mungil yang membuat seorang tak punya alasan untuk berhenti memberikan senyum padanya. Pernah datang sebagai kupu-kupu terbang mengitar dengan kelincahan kepak dan keindahan sayap, kelembutannya semakin kuat dengan paduan kuning kecoklatan.

“Pernahkah engkau mengalami perasaan ditinggalkan?”

Pertama kali pertanyaan itu datang dari Alisa di sebuah kafe. Awalnya ia tanggapi sebagai bualan pengisi waktu yang segera hilang setelah minuman habis. Tetapi esok hari, tetangganya, Dinu dan Nyonya Dinu, bercerai karena perkara rencana menghadiri ramah-tamah kantor. Dinu telah memesan sepasang pakaian di Perfect Butik yang memiliki reputasi tinggi soal pakaian. Kini butik itu memiliki konsep dan produk baru. Dengan mengenakan produk itu, ia dan istrinya akan berbeda dengan undangan lainnya. Istrinya pasti suka. Ternyata Istrinya sangat marah karena juga telah memesan sepasang di tempat lain dengan sangat yakin suaminya pasti suka. Jalan tengahnya, Dinu mengenakan pakaian pesanannya dan Nyonya Dinu juga begitu. Selepas acara, pasangan ini merasa merekalah pasangan paling tidak serasi dan pasti jadi bahan gunjingan. Begitulah pertengkaran itu berlanjut dan berkembang hingga bercerai.

“Apakah seluruh yang hadir di pesta itu adalah segerombol diri atau segerombol aku?” Zen menanya dirinya.

Malam ini pertanyaan itu datang sebagai suara air yang jatuh dari saluran atap, menitik-tetes ke genangan air pada lubang kecil tanah setelah dibentuknya sendiri sejak awal musim hujan kali ini. Suara yang dikeluarkannya tak semerdu alunan seruling nabi Daud atau biola Vivaldi dan Sardi. Ia tak dapat disandingkan dengan kedua alat musik itu karena nada dan temponya tersusun dari hembusan sepoi angin yang meniupkan dingin dan hening. Semakin lama suara itu tersusun menjadi bait-bait syair yang melantunkan rintihan kesendirian. Bukan. Bukan lagi kesendirian, melainkan tak memiliki diri. Setiap bait syair diawali dengan pertanyaan itu; pernahkah engkau mengalami perasaan ditinggalkan? Semakin lama bait-bait sya’ir itu tidak hanya terdengar melantun rintih ketiadaan, tetapi nampak tertulis di atas lembar-lembar sobekan sepi; engkau nampak tetapi sedang tiada.

“Apakah ini akan menuntunku menjawab pertanyaan itu?” Zen membisik batinnya. “Aku pernah, aku dapat merasakan bagaimana perasaan seseorang saat ditinggalkan. Mereka sering bercerita kepadaku tentang penderitaannya yang teramat perih menyayat hati. Aku menangis seperti mereka menangis, aku meraung seperti raungan mereka, aku marah sebagaimana mereka marah”.

“Engkau keliru anak muda! Engkau hanya merasakan perasaan orang-orang yang merasa ditinggalkan”. Suara tik-tik air itu membantah Zen. Suaranya semakin lembut menyempurnakan sunyi.

“Aku pernah ditinggalkan oleh seseorang yang paling aku sayangi dan sangat menyayangiku.”

“Ya betul. Engkau tidak beda dengan orang-orang yang merasa ditinggalkan seperti dalam ceritamu itu. Kecewa, tangis, sesal, meraung, meradang, semua terjadi bukan karena ditinggalkan, tapi lebih karena segala keinginanmu terhadapnya dan keinginannya terhadapmu tak dapat lagi berjalan seperti yang diinginkan. Tak dapat berjalan lebih dari seperti biasa, yang telah tersusun dalam rencana-rencana indah berdua di hari esok. Engkau hanya menangisi keinginan yang tersumbat.”

“Aku menyayanginya dengan ketulusan yang teramat dalam. Ketulusan cinta, cinta yang tulus.”

“hahaha … pandai betul kau mewarisi keahlian menggombal.” Air itu, suaranya semakin dingin dan basah. “Anak muda, ketulusan cinta. Kau bahkan tak tau membedakan antara ketulusan dan cinta. Apakah engkau mencintai dirinya atau mencintai apa yang ia representasikan tentang dirinya?”

“Tapi awalnya aku memiliki cin…, hei…, ke mana kau…?” Zen telah ditinggal pergi oleh suara itu.

Tetes air semakin lambat dan ringan. Sepi perlahan berubah menjadi sekedar diam. Ia telah ditinggal oleh tetes air itu. Besok malam hujan akan datang lagi dan menyisakan tetes air, tapi tidak dengan suara itu. Kini ia merasakan dunia tak ubahnya kandang besar berisi jutaan ternak ayam penuh selera yang sejak tetas pertama hidup dan selera mereka telah dikondisikan pada logika bisnis majikan. Orang juga seperti ayam. Sejak lahir mereka telah diberondong terus-menerus oleh rancangan selera dan gaya hidup, lalu dengan bangga mengatakan inilah diriku.

Bukan ditinggalkan tapi aku meninggalkan diriku. Aku harus mencari diriku yang telah kutinggalkan sejak lahir! Diriku bukan ayam potong, bukan budak pasar dan konsumsi! Tekad itu semakin kuat dalam benak Zen. Betapa sedih diri yang ditinggalkan oleh akunya. Kini ia mulai paham bahwa aku tak bermakna apa-apa tanpa diri, juga diri tak berdaya tanpa aku. Zen keluar, pergi mencari dirinya sebelum akunya juga hilang. Ia keluar ke mana-mana, tapi belum juga menemukan diri.

Sebuah bisikan datang sebagai dengung jangkrik. “Tidak hanya kau, tapi kalian semua sungguh sedang tersesat ke dalam syurga, dan tak tau jalan kembali.”


Makassar, 25 Desember 2010

kuntum sepatu dea

cerpen hamdan

Rerimbun pinus yang biasanya mengalunkan seruling malaikat bila tertiup angin, saat itu diam tak bergerak meskipun tetap saja memancarkan hijau bersama aneka pohonan yang tertata indah memenuhi sepanjang sisi bukit kota. Tak berapa lama, kawanan kabut berlari dari puncak Bawakaraeng dan Lompobattang, turun menyelimuti seluruh kota, bukitan dan rerimbun pohonan. Sekejap. Lalu kota itu berada di atas awan. Kota suatu masa, dimana waktu berjalan tanpa siang, petang dan malam. Hanya ada subuh. Ya, mentari dan rembulan juga terdiam padam. Sore menyubuh di bawah teras sebuah penginapan.

Aku pun ikut diam, duduk memandangi hijau rimbunan pohon ketika orang-orang di sekitarku ramai membincang masalah-masalah mereka dengan santai. Masalah yang tak pernah tuntas; tentang Tuhan. Sesekali aku menjawab bila mereka bertanya, atau tertawa mendengar cerita mereka dan akhirnya aku sama sekali tak menghiraukan semuanya. Aku memilih masuk dalam keheningan selimut kabut, bermain diam bersama pinus, damar, alvokat, mawar, dan terutama bermain cukup lama dengan Sepatu Dea.
Aku yakin saat itu malaikat penjaga keindahan sengaja menabur kabut dingin untuk kami dan dalam keindahan itu aku dapat bersama Sepatu Dea. Bersama dalam maqam, sebuah ruang persinggahan para sufi dalam tamasya spritual mencapai puncak suci.
Bertemu Sepatu Dea bukan pertama kali. Tetapi kali ini batinku merasakan hal yang sangat berbeda. Aku tiba-tiba terpikat jatuh kepada keindahan kuntum yang memancarkan merah jingga dalam tasbih kabut dan hijau dedaun. Hari itu keindahannya tak biasa, ia terpancar menembus ke kedalaman jiwa, hadir ke dasar sukma, tempat dimana Tuhan meniupkan kesucian estetik pada setiap makhluk.

Sambil mengirim senyum, tatapanku semakin dalam padanya. Ia semakin memerahkan jingganya atau sebaliknya menjinggakan merahnya. Justru dengan permainan itu ia semakin anggun. Namun aku masih yakin pula bahwa ia adalah Sepatu Dea yang kukenal sejak berapa waktu lalu. Aku masih dapat menandai gaun rumah yang sering ia kenakan.
Ia semakin anggun dan cantik. Daunnya adalah rambut yang basah tergurai ikal mengkilap. Kuntumnya adalah wajah lembut tersapu dingin. Kabut basah lalu bersenyawa dengan aroma tubuhnya dalam semerbak basmalah. Aku harus mengatur nafas untuk menghirupnya dengan baik. Merah jingganya merona menjadi kedipan tahmid tanpa henti yang memancarkan kilauan kasih sayang. Alisnya yang tebal bersambung adalah lukisan camar yang tak pernah lelah dan kalah melintas sepi kembara di atas samudera.

Tentu saja semakin tak ingin aku meninggalkan maqam itu. Ruang yang membuatku tiba-tiba berada dalam pelukan rahim ibu. Aku dan Sepatu Dea saling bercerita dengan bahasa yang tak pernah ada sepanjang sejarah kebudayaan manusia. Bahkan kami saling memahami melebihi makna yang dapat terungkap dari kekayaan bahasa peradaban manusia. Aku menyelam ke dasar samudera jiwanya dan dia menyelam ke dasar samudera jiwaku. Kami menjadi samudera itu, dan samudera itu menjadi kami. Samudera diam tanpa kebisuan. Diam bercerita tentang perahu nelayan yang berayun lambai dalam buaian ombak, didayangi tarian dan komposisi kicau camar.

Kami tetap bermain. Ia berlari bersembunyi di balik kabut yang terlalu tipis menutupi merah jingganya, terlalu lemah menghalau semerbak aromanya. Ia masih sembunyi. Aku berpura-pura tak melihatnya karena ia pun berpura-pura sembunyi. Padahal aku ingin segera menemukannya dan mendapat kesempatan menatap wajah, mata dan alisnya. Dia pun ingin segera aku temukan, mengagetkannya dari belakang, agar aku berlari lagi dan dia balik mengejarku menyusuri punggung bukit. Dia masih seolah sembunyi, aku masih berpura mencari. Aku sembunyi dan dia balik mencari. Aku mengagetkannya dari balik damar saat dia pun segera mengagetkanku. Dan terjadilah keinginan itu, kami sama kaget dan tertawa.

Lelah bermain, di sebelah bunga mawar kami duduk berbincang tentang apa saja. Mawar yang merah tapi pohonnya berduri. Aku bertanya padanya, mengapa kelembutan mawar merekah di atas pohon berduri?

“Apa masalahnya? Nda boleh?” Tanyanya balik.

“Hmm … tidak, tidak, kebetulan aku sedang larut dalam kelembutan Sepatu Dea tanpa duri”, jawabku polos.

Sambil mencium kembang mawar, ia menyangkalku. “Ya, mungkin kau selalu memikirkan surga yang beda dan terpisah dari neraka. Lalu mawar yang juga berduri jadi masalah bagimu. Cobalah membayangkan surga dan neraka sebagai bagian yang tak terpisahkan. Seperti surga mawar ini, untuk mencapainya harus melalui batang, cabang hingga ranting yang bertabur duri nerakanya. Mawar dan duri adalah keseimbangan. Menyatu, tapi bukan bercampur saling menjadi. Dan, meski tajam, duri tak pernah dengan sengaja menusuk atau melukai sesuatu, melainkan sesuatulah yang menusukkan dirinya ke duri. ”

Kabut masih enggan beranjak dan matanya semakin bening. Dea tak hanya anggun tapi juga pandai. Kepandaiannya mengalir jauh mencapai batas-batas pengetahuan, menyusuri sungai-sungai hakekat dan telaga makrifat. Ia menanyakan padaku mengapa datang lagi ke kota ini. Aku adalah kerinduan angin, jawabku. Bahwa angin tak pernah merancang datang dan pergi, ia hanya memahami kehadiran. Angin adalah kembara rindu yang hadir menghembus di setiap ruang dan waktu. Kini bersamamu, aku adalah angin senja semerbak Sepatu Dea. Akan kusimpan semerbak itu dan dengan izinmu akan kutabur bening mata dan semerbakmu pada titik-titik embun.

Kami berbincang bayak hal. Kepandaian ia bercerita membuatku merasa bodoh di hadapannya tetapi juga ingin terus bersama. Aku berharap semoga ia bukan surga yang dikirimkan kepadaku, sebab sebentar lagi kami akan berpisah keluar dari maqam itu. Dia akan mejalani hidupnya dan aku akan menjalani hidupku seperti biasa.

Senja berlalu tanpa menampakkan kemilau jingga di taman kabut itu. Kami melintas kota di atas awan tanpa keluh kesah walau nafas sedikit tergesa setelah bermain mengitar. Kini kami tak lagi ragu dengan jarak ruang dan jarak waktu. Kami telah mewaktu kemudian bersenyawa menjadi kerinduan. Ya, kerinduan bukanlan badai yang dapat meluluh lantahkan kami, karena kerinduan yang membatin adalah cakrawala kembara yang menyatukan bahagia dan sedih. Kerinduan adalah mushaf tafakur yang menegaskan keseimbangan.

Makassar, 1 juni 2010

kembang cahaya rindu

Cerpen Hamdan
Seharusnya di pagi seperti ini titik-titik embun itu telah memantulkan kilau di atas wajah hijau dedaun, rumputan serta kelembutan kembang yang ada di sekitar rumah. Bergoyang dalam simponi sejuk sepoi angin pagi dan memainkan kilau dari sinar matahari pagi. Kemilau yang memainkan warna-warni pelangi dari intipan matahari pagi. Dan ribuan titik embun menjadi kembang cahaya.
Seharusnya seperti biasa di pagi seperti ini aku telah menyentuh kembang-kembang itu atau sedikit menggoyangkan daun atau menggetarkan ranting agar titik embun bergulir ke jemariku dan jemariku pun menjadi kelopak kembang cahaya. Siapa pun pasti dapat membayangkan betapa bahagianya jika jemarinya menjadi kelopak dari kembang cahaya. Kupu-kupu dari manakah yang dapat mengenal sari madu kembang cahaya hingga mereka dapat hinggap dan menghisapnya?
Harusnya aku telah menyentuhkan kembang itu ke wajahku. Sentuhannya yang lembut serta dingin tak berbau, mengalir kencang melampaui kecepatan cahaya dalam rumus fisika. Menembus jiwa, menyibak gorden jendela sukmaku dan menabur kesejukan ke seluruh ruangnya. Kelembutan yang mengandung energy tak terumuskan itu, menjadi jalanmu untuk hadir bersamaku di pagi hari mendahului matahari mencapai pucuk-pucuk daun di ujung ranting.
Karena itu harusnya di pagi ini engkau telah hadir dengan senyuman indahmu yang tak seorang pun miliki keindahannya. Senyum yang tak tertandingi. Keindahan senyummu itu membuatku memiliki keyakinan lain terhadap pagi, yakni pagi ketika kau datang. Suatu pagi yang tampak sama dengan pagi-pagi yang lain setiap hari, tetapi sebenarnya begitu berbeda. Bahwa pagi ketika kau datang, keceriaan burung-burung cakuridi bersayap kuning, burung-burung kutilang dengan nyanyi siul, cekke-cekke dengan nuansa biru, kelincahan burung-burung pipit dan ragam cuit, kelincahan sriti, dan lain-lain, bukan karena rutinitas mereka terbiasa menyambut matahari dan pagi, tetapi sesungguhnya karena mereka terpesona dengan indah senyummu. Begitulah mereka saling berebut perhatianmu. Karena senyummu yang mempesona itu, kadang-kadang aku cemburu kepada burung-burung itu dan kupu-kupu yang begitu bahagia dengan senyummu. Cemburu karena aku merasa bahwa kedatangan dan senyummu bukan untuk diriku tetapi untuk mereka.
Memang tidak setiap pagi kembang-kembang cahaya itu mekar berkilau. Tapi aku tau jika pagi ini seharusnya ia mekar. Dulu engkau pernah tanya padaku bagaimana aku dapat mengetahui saat pagi yang mana kembang cahaya dapat mekar?Aku tak tahu bagaimana bisa menjelaskannya padamu agar engkau dapat memahaminya. Aku dapat saja menjawab bahwa ia memberitahukannya padaku setiap kali ia hendak mekar. Tetapi engkau pasti bertanya lagi, “bagaimana kembang menyampaikan pesan itu?” Pertanyaanmu memang sedikit, tetapi jawabannya pasti menjadi panjang. Agar lebih singkat, aku menjawab seadanya; “aku bukan mengetahuinya, melainkan merasakannya sebagaimana engkau merasakan kerinduanku padamu”. Jawaban sederhana itu membuatmu tersenyum dan bertanya canda padaku; “ooh… apakah aku merindukanmu?”
Kini aku juga belum tahu kenapa pagi ini kembang cahaya itu tidak mekar. mestinya ia pasti memberitahukan padaku sebelumnya setiap kali ia akan mekar. Tetapi soal mengapa tidak mekar di pagi ini, ia belum memberi tahu sebelumnya, atau mungkin ia takkan memberi tahu. Satu-satunya yang dapat aku pastikan walaupun ia tak memberi tahuku sebelumnya adalah ketika purnama datang. Aku sudah menandai bahwa setiap kali purnama telah memendarkan kesempurnaan cahayanya di suatu malam, kembang-kembang cahaya itu pasti mekar di pagi hari. Aku tak bisa lupa hal itu karena aku juga selalu menanti purnama. Bukan hanya kesempurnaan cahaya yang aku senang pada purnama, tetapi juga setiap kali ia menyempurnakan cahaya, ia pasti berada tepat di depan teras rumahku. Di saat itulah aku dapat memandang ke arah utara, pada sebuah bintang yang paling jauh nan sepi, sendiri, kedipannya kecil kemuning, dialah kesempurnaan kerinduan. Kesempurnaan cahaya dan kesempurnaan kerinduan menyatu di malam purnama.
Keindahan mekar kembang cahaya di pagi setelah purnama adalah manifestasi dari kedua kesempurnaan yang menyatu itu berwujud dalam kembang cahaya rindu. Jadi inilah kembang yang paling sempurna, kembang bertabur kemilau cahaya rindu. Lalu engkau yang hadir menjadi bagian dari kesempurnaan, juga bagian dari kemilau, juga bagian dari cahaya, dan juga menjadi bagian dari kerinduan. Kembang cahaya rindu menjadi bagian terpenting dari hidupku setelah ruhku, bahkan sebenarnya diam-diam aku merasakan bahwa sebenarnya kembang itu adalah ruhku sendiri.
Aku seperti kehilangan hampir seluruh bagian dalam hidupku karena pagi ini bukan pagi dimana kembang cahaya rindu hadir dalam jiwaku. Kini hanya pagi biasa sebagaimana pagi lain sepanjang waktu, tanpa kemilau kembang, tanpa kemilau cahaya, tanpa kemilau rindu dan kemilau senyummu. Burung-burung pun memberikan nyanyian pesakitan, nyanyian hysteria penderitaan dari penjara rutinitas pagi, nyanyian yang terpenjara oleh waktu. Daun-daun juga menghijau seadanya mengesankan batas-batas usia, hijau yang tersandra waktu hingga mereka menjadi coklat kering dan berguguran.
Tapi aku tak perlu pemberitahuan atau alasan. Ini hanya suatu bagian yang mesti dilalui, bahwa untuk mencapai kesempurnaan kerinduan, aku harus memiliki kualita-kualita sepi dan kesendirian yang melampaui ruang dan waktu. Dalam perjalanan melewati tapak sepi ada banyak kesenangan dan penderitaan yang mengajakku melupakan puncak rindu. Ya, ini soal kesetiaan bahwa kualitas kesetiaan akan teruji dengan kedalaman rindu, tidak dalam kebersamaan sepanjang ruang dan waktu.
Seharusnya pagi ini, ah… tidak... bukan seharusnya, pagi ini aku harus mulai membaca kitab-kitab sunyi dan sepi serta risalah kerinduan. Aku yakin pada lembar-lembar tertentu aku akan mendapatkan bahwa kembang cahaya rindu itu sungguh adalah wajah senyummu yang mekar kemilau di hatiku, tidak lagi pada dedaun pagi hari di halaman rumahku.
makassar, tengah juni 2011

senyum luna

cerpen hamdan
Jam delapan malam, baru saja Pak Imran hendak menutup bengkel advertisingnya, tiba-tiba ia kedatangan tamu. Empat orang ibu muda tergesa memesan papan iklan ukuran mini dua lembar, terbuat dari bahan apa saja yang penting tahan lama dari terpaan panas dan hujan, pakai lampu penerang, dan dapat selesai malam itu juga.

“Bisa saja Bu Leha, tapi ongkosnya dobel.”

“Ya sudah, mau dobel, ganda campur, single, yang penting selesai malam ini sesuai pesanan kami. Berapa ongkosnya?”

“JiTe”, jawab Pak Imran setelah mengangkat dua jarinya.

“OK, dil! Aku tambah ongkos pasangnya,” tegas Bu Leha.

Tergesa sekali ibu-ibu itu memesan, bayar kontan, ngomong mereka seperti sedang menjalani masa emerjensi, tanpa senyum, dan mata tampak sedang memendam marah. Pak Imran tidak peduli. Lebih baik pikir orderannya; kerja lembur ongkos lipat ganda, sementara kerjanya cukup mudah dengan peralatan yang telah ia miliki. Bayangan Pak Imran, jika dalam seminggu saja pesanan semacam ini ada dua sampai tiga kali, bisa untung besar. Dan ia akan menjadi Juragan Imran.

“heei…, Bu Leha…, tunggu…! Mana iklannya? Apa hanya pasang papan kosong?”

“Ooh iya, sory Imran, Aq lupa.” Bu Leha balik berlari dan memberi teks. “Bukan iklan Imran, tapi semacam pengumuman publik.” Dan ia pergi lagi.

“E..ee…, Bu Leha…, selesainya kan harus malam ini, apa pasangnya malam ini juga? Sudah dapat izin RT?”

“Eh, Pak Imran, bilang sama semua yang tanya tentang izin, iklan ini milik Asosiasi Istri RT2, disingkat AIR2, pimpinan Bu RT2!”

***

Gang RT2 baru seminggu terakhir dilanda suasana lain dari yang lain dari sekian hal yang pernah terasa lain dalam sejarah gang itu. Ada suasana yang betul-betul sangat beda sejak sebulan lalu seorang perempuan menjadi penghuni baru di rumah sewa bagian ujung gang, tepat sebelum rumah Pak RT.

Setiap pagi sebelum semuanya berangkat beraktivitas, Luna, perempuan baru itu, sudah lebih dulu keluar entah ke mana, kantoran atau kerja apa. Tapi yang penting, Luna selalu saja memberi senyum pada setiap orang yang ia lewati, dengan suara sapaannya yang benar-benar lembut, menyenangkan dan tentu saja santun.

“Pagi om…, pagi tante…,”

“Pagi mas…”, atau “hi…, mat pagi yah…?”

“Ooh… nama saya Luna, mat kenal yah …? Makasih…”

Warga mulai menikmati keadaan itu, kehadiran Luna, seorang gadis yang pesona dengan suara lembut dan senyum yang paling sempurna. Benar-benar beda dengan tiga tahun lalu, penghuni baru rumah itu perempuan berwajah menjengkelkan karena jauh dari kesan akrab. Bagi warga, lebih baik berwajah hantu dari pada berwajah menjengkelkan. Kalau wajah hantu seseram apapun ia masih lebih mungkin bisa akrab dari pada wajah yang menjengkelkan itu. Apalagi ia, bila siang betah dalam rumah, sore keluar dengan jemputan dan subuh kembali dengan pengantar ketika gang baru akan sadar dari lelapnya.
Para anggota AIR2 juga merasa senang dengan kehadiran Luna. Nanti ia bisa direkrut jadi anggota baru. Kata ketua, pentingnya direkrut agar ia tidak menjadi asing dan menjengkelkan, selalu ada kesempatan untuk membuka komunikasi dengannya sampai ia dan semua ibu-ibu dapat lebih merasa akrab.

“Iya Bu RT, kalau Luna bisa kita rekrut, asosiasi kita akan menambah koleksi perempuan-perempuan cantik, cerdas dan baik. Iya kan?”

“Ah, Bu Lili bisa aja…”, sanggah Bu RT dengan senyum sipu.

“Tapi kenapa ya dia pisah dengan suami? Jangan-jangan dia punya sesuatu yang jelek, lalu ia diceraikan suaminya?” Tanya ibu yang lain.

“Ya, kalau begitu bisa juga berarti jangan-jangan suaminya play boy, atau mungkin ditinggal mati?”

“Yah, sudahlah ibu-ibu. Seperti kata lagu dangdut; kau masih gadiiis atau sudah janda...?” 

“hahahaahaa…..”, mereka semua tertawa. “Nah, untuk semua itu, kita serahkan saja pada Bu RT yang punya wewenang untuk cari tau, untuk pedekate sama si Luna. Jadi kesan investigasi, basa-basi atau spekulasinya tidak ada.”

Mereka saling jawab mengembangkan cerita. Bu RT tidak mampu menolak tugas itu. Apalagi memang ia tetap harus membangun citra positif pada masyarakat, memperlihatkan rasa peduli, termasuk pada Luna. Tahun depan Ketua RT, suaminya, sudah bertekat dan sedikit nekat untuk ikut bertarung dalam pemilu legislatif. Sementara tiga bulan lagi RT harus terganti. Dengan demikian Bu RT juga bertekat untuk menjadi Ketua RT. Jabatan RT, suami Caleg dan Pemilu, merupakan hal yang sinergis untuk dikelola. Dalam hal ini, Luna juga jadi potensial.

Jangka tiga pekan Luna dengan senyum menawan bulan sabit, sudah mampu menjadi selebritis gang RT2. Tapi Luna belum mengenal banyak orang. Penerimaan warga terhadap Luna rupanya tidak saja jauh ke dalam ruang kesadaran kewargaan, keertean, atau kebangsaan, tapi lebih menembus ke ruang kesadaran di mana seseorang dapat jatuh tak berdaya. Para warga khususnya lelaki secara diam-diam mempelajari bahkan sampai detik-detik Luna keluar rumah, atau lewat depan rumah mereka masing-masing. Mereka lebih dulu duduk di teras menunggu dekat pintu pagar, atau sengaja jalan santai menghirup udara pagi, agar bisa mendapatkan senyum Luna. Di waktu-waktu tertentu ada yang sengaja main sampai ke ujung gang depan rumah RT untuk mendapat senyum atau setidaknya melihat Luna dalam suasana rumah.

Senyum Luna memang bukan senyum biasa. Sebenarnya ia tidak cantik-cantik amat, wajahnya bisa dibilang pasaran rata-rata orang bugis-makassar. Tapi auranya seketika berubah begitu ia mulai tersenyum sambil menyapa pada orang lain. Bibir basah merah alami, lehernya, rambutnya yang basah mengombak, amboi lesung pipinya, pinggul, dada, bodi, suaranya lebih indah menaklukkan kicau burung pagi. Seluruh bagian menjadi aduhai saat senyumnya sedang rekah. Kalau sudah aduhai, emosi, pikiran dan hasrat berpadu satu energi, mendorong siapa saja membawa Luna berlari kencang ke mana-mana mengelilingi dunia imajiner. Kata pepata; dari senyum turun ke surga.

Ternyata Luna bagai anak panah melesat kencang menembus sekaligus ratusan lapis jantung hati lelaki gang RT2. Tidak hanya itu, ia bahkan dapat menembus lapisan-lapisan usia, komitmen dan hasrat. Luna berhasil menciptakan sate asmara terpanjang sepanjang gang RT2, yang kini sedang dikipas di atas tungku pembakaran. Aromanya sangat harum, segar, memikat dan memendam gairah. Mengubah udara gang yang sejak dulu tercemar polusi kota. Udaranya bahkan melebihi kesegaran bukit kota wisata Malino atau Bogor.

Karena aromanya itu, tak satu pun indra penghirup melepaskannya lewat begitu saja. Termasuk hidung para anggota AIR2. Para istri jelas gusar merasakan udara itu, melihat tingkah suami-suami mereka. Beberapa anak gadis mereka pun sudah pisah dengan pacar karena juga takluk menjadi sate asmara Luna. Di depan mata pun lelaki-lelaki itu sudah berani memperlihatkan kejatuhan hati mereka pada Luna.

Malam itu di rumah Bu Leha, AIR2 sedang meeting rutin. Pak RT turut di undang. Rumah itu ribut seperti pasar malam di keroyok pengunjung, ribut mengusir deru kendaraan yang lewat. Ramai membahas senyum Luna. Bu Leha baru datang dari rumah Pak Imran.

“Menurut saya, Bu RT terlalu bijaksana, tidak sesuai dengan akibat senyumnya. Kita harus menyuruhnya pindah dari gang ini”

“Iya, benar. Perempuan ini sudah berlebihan. Dia harus dilarang senyum lewat sini. Itu lebih baik dari pada kita melarangnya lewat gang buntu ini.”

“Ibu-ibu yang saya hormati, sebagai ketua RT menurut saya, kita tidak punya alasan yang cukup untuk melakukan pelarangan terhadap Luna meski sekedar senyum. Kita juga tak bisa melarang warga lain untuk sekedar membalas senyum sapa Luna. Menuduh para lelaki RT2 sedang memendam cinta pada Luna juga terlalu lemah gejalanya. Semuanya masih dalam batas kewajaran bahwa sah-sah saja seseorang meresponi sesuatu yang indah di sekitarnya. Saya kira yang harus diubah adalah cara berpikir dan merasa kita masing-masing. Malu dong di RT kita kedengaran ribut tentang hal ini dengan alasan yang bodoh dan tak dewasa.”

Atas nama malu dan citra baik semuanya memilih diam. Ngomong terbuka pada Luna juga sama halnya membuka aib orang banyak pada seorang Luna. Bisa juga Luna tidak marah, tapi juga ia bisa geer dan makin menjadi-jadi dari sekedar senyum. Sementara mungkin senyum Luna memang asli adanya. Demikianlah, rapat usai. Semuanya sepakat diam-diam, dan Luna yang mempesona tersimpan diam pada Hiden Folder dalam jiwa gang RT2.

“Pak Imran, halloow…, iya iya saya Bu Leha, tolong iklannya simpan aja ya? Tidak usah dipasang, tutup aja dengan cat baru dan simpan. Tolong isinya hanya Pak Imran saja yang tau.”

Sehari, dua hari, dua pekan, gang RT2 yang tegang oleh senyum, kembali berjalan normal seperti biasa termasuk senyum Luna. Masalah telah usai. Dalam pikiran baru ada harapan baru. Begitu spirit mereka yang terlibat ketegangan diam-diam. Para istri dan suami bahagia. Justru karena diam-diam seluruh hal dapat berjalan lancar tanpa hambatan.
Benar, semakin diam, diam-diam beredar beberapa foto dan video Luna dalam tampilan beda-beda. Ada beberapa pic close up senyum khas Luna di pagi hari, ada saat memakai daster di kedai Pak Hasyimi, ada sedang memakai piama tipis dalam posisi tunduk tampak belakang memungut sesuatu di teras rumahnya, masih gambar sama semi close up, juga ada sedang meraih beberapa jemuran underwear dengan hanya terlilit handuk kecil di tubuhnya yang putih.

Gambar dan video itu hanya tersave dan beredar hi HP para lelaki, termasuk Pak RT. Para wanita tidak saling tau soal itu. Bu RT, Ia pernah sekali memergoki suaminya yang keliru mensetting screen sever HP. Hatinya sakit, hancur rasanya. Tapi ia harus memendamnya karena jika ia ribut dan bocor, keinginan politiknya bisa hancur. Bisa gagal jadi ketua RT pertama perempuan, suami gagal caleg, gagal panen suksesi. Serba gagal dan tinggal menanggung malu keluarga. Bukankah istri paling bodoh adalah membocorkan rahasia keluarga dan juga membuat malu lelaki yang mereka cintai. Ini tidak menjaga kemaluan namanya. Tetapi lewat diskusi-diskusi AIR2, mereka juga paham bahwa perempuan paling bodoh adalah yang hanya diam memperoleh perlakuan salah dari kaum lelaki. Menjalani salah satunya tetap saja bodoh. Jalan lainnya adalah sabar menjalani bodoh itu.
Jadi Bu RT harus diam bersabar, walau firasatnya mengatakan masih tetap akan merasa sakit. Bahwa dengan mendiamkan semua itu, suaminya bisa semakin bebas menjalankan aksinya mencuri perhatian Luna. Tidak hanya perhatian, bisa pula sampai dalam pelukan dan ke ruang yang lebih dalam dari Luna.

Seperti Bu RT, ternyata Bu Leha juga harus diam, Bu Lili, Bu Hasyimi, Bu Jali, Bu Imran. Semua istri kini sedang diam menjaga rahasia keluarga mereka masing-masing, minus alasan politis. Karena diam, mereka tidak saling tau bahwa mereka sedang saling diam. Diam seperti gambar-gambar Luna yang beredar diam-diam, semakin diam semakin bertambah koleksi para lelaki memenuhi HP. Tersimpan dalam hidden folder, nama tertentu dan keyword.

Para istri tak bisa menghalang aroma sate asmara yang asapnya makin kencang seperti asap panas merapi. Tetapi dapat menyimpan rasa sate dalam hatinya masing-masing. Menyimpannya lebih aman dari foto-foto dan video Luna yang tersimpan di HP suami mereka. Secara diam-diam pula para istri mempelajari rahasia senyum Luna, mengdownload rahasia senyum-senyum terbaik dunia, senyum para miss univers, dan berlatih tersenyum dengan memadukan resep rahasia itu.

Sebuah SMS masuk dengan silent ke HP pak Jali, “Mau gmbr br? Lbh sru. Ditek d t4x yg ckp rhsia.”

Pinrang, 29 Oktober 2010

dari langit

cerpen hamdan

Hampir setiap orang merasa heran dan curiga karena Khumi baru muncul setelah cukup lama menghilang di tengah rutinitas sosial kampong halamannya. Kota yang lebih sibuk dari angin atau malaikat. Entah apa yang mendorongnya untuk kembali, yang pasti bukan karena rindu atau cinta. Warga yang mengenalnya hanya biasa saja setiap bertemu dan menyapanya, meski rasa curiga dan heran tak bias mereka sembunyikan. Belum ada yang berani menanyakan langsung pada Khumi. Bahkan mereka yang dulu baik dan dekat dengannya, kini hanya berlalu bagai petir, menyapa dengan sambaran mendebarkan. Tentu saja Khumi segera membaca doa melihat petir untuk meminta perlindungan Tuhan.

Khumi menjadi musafir di kampungnya sendiri. Keluarga yang dulu membesarkannya, seperti juga keluarga lain di kota itu, telah berubah menjadi tidak lebih dari sekedar lembaga perkembang-biakan atau lembaga sex legal. Saudara hanya menjadi dirinya sendiri kecuali untuk kepentingan tertentu. Orang-orang tua pada takut menanggung beban dunia, hingga yang ringan terasa berat. Semua takut menanggung beban, tetapi senang menenteng dunia kemana pun mereka pergi.

Khumi ke masjid. Tidak sulit mencarinya, masjid cukup banyak dan megah-megah. Tapi juga semuanya tampak seperti kandang megah yang ditinggal pergi oleh ternaknya. Kecuali beberapa orang tua sedang menghitung usia dengan butiran tasbihnya, dan seorang penjaga masjid yang selalu memaksa menara dengan kaset-kaset popular. Kaligrafi dari kuningan membuat Khumi semakin berpikir, apakah semua ini adalah gambaran surga atau justru keangkuhan dalam menyatakan penghambaan kepada Tuhan?

“Hai Khumi!”

“Wa’alaikum salam”, jawab Khumi.

“Dari mana saja baru kelihatan?”

“Dari langit”, balas Khumi sambil bersandar santai di tiang raksasa masjid. Batu marmer yang dingin menembusi tubuhnya. Ia seperti berada di padang salju yang putihannya menjadi sajadah suci pengembara.

“Kau bergurau Khumi?”

“Ya, jika kau menganggap langit bukan tempat tamasya.”

“Lalu apa? Gila?”

“Ya, jika cakrawala logikamu kerdil sebatas arogansi empirik.” Bahasa Khumi sedikit membingungkan Zen. Tapi ia ingin menuntaskan penasarannya dan bernostalgia dengan teman lama.

“Khumi bertemu bintang-bintang dong?”

Khumi tersenyum dan menurunkan songkok turkinya di lantai. Bagai cermin, lantai itu menampilkan baying-bayang dari apa saja yang berada di atasnya.

“Bintang-bintang juga seperti bumi. Bila engkau berada di sebuah bintang, maka bumi ini akan tampak seperti bintang, dan kau akan menganggapnya berada di langit. Jadi sama saja; bumi, matahari, bulan dan bintang-bintang, semuanya berada di langit. Karena itu bumi dan dunianya tak akan mampu memaksa memisahkan diri dari langit, atau memisahkan langit dari bumi.”

Zen yang semakin penasaran, beranjak mengambil dua sajadah impor untuk dijadikan alas duduk. Sementara di luar bintang-bintang mulai tampak bersenandung dengan bait-bait zikir cahaya yang menembus batin. Kemilaunya menjelma sebagai taman ta’aruf, tempat para pecinta bertamasya, mabuk bersama kekasihnya. Kedipannya menjadi detak waktu yang semakin tua.

“Jadi engkau sungguh tak bertemu bintang?” Zen sejenak menunggu jawab. “Atau bertemu Tuhan?”

“Sudahlah Zen, apa arti pertemuan bila hanya melahirkan kebanggaan atau kenangan. Lebih kita melakukan hal-hal yang baik agar bintang, rembulan, setan, iblis, malaikat, dengan tulus dapat mendoakan keselamatan bagi diri kita.”

Khumi mengenakan songkoknya dan berdiri pamitan melanjutkan perjalanan. Zen memintanya tinggal beberapa waktu di rumahnya, berkenalan dengan isteri dan anak-anaknya. Khumi juga dapat melihat perkembangan agar tidak menjadi asing di kampong sendiri. Sejak tadi Zen telah mengikuti Khumi ke masjid itu. Dialah satu-satunya yang memperhatikan kehadiran Khumi tanpa sedikit pun rasa curiga dan hawatir.

***

Pagi itu Khumi duduk di teras samping memandangi wajah sungai yang dulu bening dan kini telah kuning kecoklatan. Arusnya makin lambat sehingga sampah-sampah kemasan makanan yang lewat sangat mudah dikenali. Airnya pun tinggal sedalam betis. Khumi tidak lagi mendengar riak air sejak keberadaannya semalam di teras itu. Sinar matahari yang selalu muncul dari balik rimbun poho, kini terbit terlambat di balik atap rumah, tiang antena, atau ranting pohon sekarat.

“Tehnya di minum om sebelum dingin.” Khumi disentakkan oleh suara seorang anak, seorang pembantu.

“Terima kasih nak, namamu siapa?”

Anak itu hanya member senyum dan berlalu. Khumi terbawa ke masa lalunya. Mungkin saja ia telah memiliki seorang atau dua orang anak jika saja istrinya tidak meninggalkannya karena kekeliruannya memahami issu, terperangkap jauh dalam logika stratifikasi konyol.

Rumah itu kemudian menjadi sunyi. Hanya terdengar gemuruh pagi kota. Zen dan istrinya ke kantor, anak-anak bersekolah. Rumah itu rasanya sekedar tempat menghilangkan lelah. Begitu mahalnya sebuah kelelahan, kelelahan terencana. Mereka memelihara kesehatan agar tetap menjadi mesin yang baik bagi peradaban, bagi produk-produk zaman yang kemilaunya lebih menggiurkan dari janji-janji surge, seolah mampu memadamkan neraka. Khumi tak bias begitu saja meninggalkan rumah sebelum pamit. Ia harus menjaga rumah itu sebelum pemiliknya kembali. Zen teman yang paling dekat dengan Khumi, lebih dekat dari saudara mereka masing-masing. Karenanya mereka sulit saling melupakan.

Khumi ingat di sungai itu mereka selalu bermain; mandi dan berenang. Pada hari-hari tertentu mereka pergi menangkap ikan dan udang. Di tempat-tempat yang dalam mereka memancing. Sering di malam hari mereka membawa lampu atau obor, parang dan tombak kecil atau panah. Menyusuri sungai udang dan ikan. Biasanya cara ini paling banyak mendapat hasil tangkapan.

Sungai itu adalah sebuah zaman yang mengalir deras menghanyutkan. Orang-orang tampak pandai berenang di atasnya, padahal mereka sebenarnya sedang bergoyang-goyang, nikmat mengikuti arus. Sungai itu dialiri cairan hasrat manusia yang membobol dinding pembatas, merobohkan apa saja yang mencoba membendungnya sekalipun itu Tuhan.

Setelah beberapa saat Khumi menjadi penunggu waktu, penunggu rumah, penunggu kali, kembali ia dikitari orang-orang lelah. Mereka pulang agar besok dapat lelah lagi. Sebab mereka juga tau kelelahan yang berlebihan akan membuat segalanya berakhir. Kantor bias jadi macet, keluarga macet, sex macet, sekolah macet, ekonomi mati, Negara fakum, sungai lelah, dan seluruhnya menjadi diam.

“Zen, aku akan kemabli ke langit.”

“Kenapa tergesa-gesa? Bukankah rumah ini juga bagian dari langit?”

“Benar! Tapi kota ini telah memproklamirkan dirinya sendiri. Lihatlah setiap orang mengejek, mencemooh langit. Hei, di sini bumi, bukan langit. Di sini dunia bukan akhirat. Begitu gampang mereka mengkapling ruang dan waktu lalu mengklaim sebagai miliknya.”

“Dan aku juga?”

“Dan keluargamu.”

Khumi pamit dan menghilang di pojok kota. Zen masih bingung dengan langit. Ia masih menganggap itu gurauan pengembara dan nanti Khumi akan datang lagi. Tapi sampai kota itu kehilangan seluruh pojoknya, sungainya, Khumi belum juga muncul. Setahun kemudian Khumi menjadi orang yang paling dicari dan dikejar sejagad. Sebuah surat singkat di terima Zen. “Zen saudaraku, mereka tidak akan pernah memberikan kebebasan dan hak-hak sepenuhnya seperti yang pernah mereka mimpikan kepadamu.”


Makassar, 10 Maret 2002

Tentang Kerbau Itu

cerpen hamdan









Masih sangat pagi. Bahkan burung-burung baru satu dua kali mengicau. Tapi pak Soboyo sudah teriak meraung. Wajahnya sekejap memerah dialiri air mata. Suaranya pun seolah memecah sejuk-sepi dusun, menggetarkan rumahnya yang telah miring dimakan waktu. Di tiang pintu kandang, ia tersandar duduk tak berdaya. Tanah becek oleh kotoran kerbau menyelup pantatnya. Tatapan kosong menerawang. Setelah cukup lama, raungan itu melemah sebagai suara tangis biasa. Ia baru saja mengetahui bila dua ekor kerbaunya lenyap dari kandang di belakang rumah.

Warga sekitar terbangun dan berdatangan menuju kandang. Beberapa orang berusaha mengangkat pak Soboyo, tetapi ia seperti terikat erat di tiang. Seorang yang lain berusaha membujuk menyabarkan hatinya. Ia tak bergerak sedikit pun. Hanya tangis yang terus terdengar. Beberapa yang lain mencoba mengikuti jejak kerbau. Agak sulit menandai bekas kuku kerbau karena jalan berbatu dan berumput. Apalagi semalam hujan cukup deras. Sedikit petunjuk mengarah ke jalan, menuju Barat dan berhenti di gundukan kerikil tertutup ditumbuhi rumputan.

Setelah beberapa lama berkumpul, berceritra, berspekulasi tentang pencurian kerbau pak Soboyo, satu persatu warga dusun pulang memeriksa binatang ternaknya.

Dusun Butan, oleh pemerintah tergolong miskin, umumnya warga adalah buruh tani. Tanah dan lahan adalah milik sejumlah pejabat berduit. Warga diizinkan tinggal dan membangun rumah serta mengolah lahan sawah dan kebun, tetapi tidak untuk dimiliki. Yang tak mendapat cukup lahan garapan, mereka berusaha menambah kerjaan lain dengan memelihara satu dua ekor kerbau, kuda atau sapi sebagai alat transportasi sewaan, terutama ketika masa panen tiba.

Di daerah lain, kehilangan kerbau mungkin tidak begitu sakit rasanya. Namun bagi pak Soboyo, kerbau itu adalah harta satu-satunya yang paling berharga, karena ia tak memiliki tanah sejengkal pun dan rumahnya tinggal menunggu waktu kerobohannnya. Juga bukan harga kerbau perekor yang ia sedihkan, tetapi sebagai petani penggarap sawah, dua ekor kerbau itulah yang ia andalkan untuk memperoleh penghasilan membiayai anak satu-satunya. Ia bahkan telah rencana menjual seekor untuk biaya penyelesaian program sarjana anaknya.

Istrinya telah meninggal setahun lalu terserang penyakit yang mereka sendiri tidak pahami. Hampir semua kaum ibu yang mati disebabkan oleh penyakit serupa. Ada yang bilang penyakit seperti itu turunan perempuan, ada juga yang bilang penyakit menular pada perempuan dewasa. Bahkan yang paling ekstrim berpikir bila itu penyakit kutukan bagi perempuan. Padahal istrinya sangat rajin bersamanya mengurus kebun Tuan Badar. Demikian juga almarhumah yang lain di dusun itu.

Semakin jauh mata menerawang, makin sedih lagi hati pak Soboyo. Ia merasa seperti masuk jebakan penipuan dari kampanye pemerintah saat suksesi lalu bahwa pendidikan itu investasi yang harus di bayar mahal dan kami berjanji jika terpilih nanti akan menggratiskan pendidikan dan kesehatan. Tetapi ia juga membayangkan setelah kerbau hilang, anaknya masih akan menganggur entah sampai kapan dalam sulitnya mendapat kerja yang lebih baik dari apa yang ia kerja sekarang. Pendidikan dan pekerjaan, seperti jalan panjang berbatu di desanya yang membentang dua arah, ke Barat dan Timur, sulit terbayangkan ketemunya di mana.

Semakin menerawang semakin sedih. Ingin mengeluh ke pemerintah, tetapi pemerintahan juga telah menjadi dunia pencurian besar-besaran. Mereka saling menuduh maling dengan senyum tanpa malu. Pak Soboyo menjadi tidak yakin jika yang mengambil kerbaunya adalah para penganggur yang terdesak kemiskinan. Jangan-jangan para koruptor yang kehilangan garapan korupnya terhadap kekayaan Negara, lalu mencuri langsung milik rakyat sebelum beralih ke tangan Negara dengan cara bermitra bersama para penganggur itu.

Pak Soboyo makin jauh menerawang. Ia masih duduk. Sarung yang ia kenakan seluruhnya telah basah oleh becek kandang. Kesedihannya liar kemana-mana. Ia tak pernah yakin bahwa nasib miskinnya adalah pemberian tuhan, tetapi dari keserakahan. Sebagai seorang mantan prajurit, dulu ia pernah tinggal di pinggiran kota, hingga melewati masa pensiun dan akhirnya tanah serta rumah yang ditinggali puluhan tahun digusur oleh Negara. Dengan kecewa, ia memutuskan segala hubungan sejarahnya terhadap Negara. Ia benci Negara yang tidak mengenal warganya, bahkan warga dimiskinkan dan mengemis pada Negaranya sendiri. Dengan modal seadanya ia ikut tinggal di dusun itu, menjadi buruh tani, dan kini kerbaunya dicuri.

Semakin sedih karena ia merasa menderita di negeri sendiri. Negara tak pernah mengenal ia sebagai warganya. Beberapa waktu lalu ia mendengar cerita tentang rakyat yang turun ke jalan membawa kerbau dengan aneka warna dan tulisan. Negara bereaksi dan mengartikan kerbau sebagai makhluk gemuk serta pemalas, dan artinya juga miskin. Padahal sejak awal kerbau dan sapi sangat menentukan perkembangan pertanian hingga Negara tak perlu lagi mengimpor pangan. Jasa kerbau sudah terlupakan oleh mesin traktor. Lalu dengan kelupaannya dengan kerbau, Negara tersinggung pada mereka yang menarik kerbau di jalan.

***

Siang itu, Amat sedang membaca buku “Great Disruption” yang di tulis Fukuyama, sambil menikmati lagu-lagu; Come Back to Sorronto, Besame Mucho, Africa Bamba, Quizas, Corazon Espinado, Guajira, Historia de un Amor, dan lain-lain. Amat juga melirik nguping berita siang di televisi. Perampokan, pelacuran, pembunuhan, pencurian, bunuh diri, korupsi, perceraian, pernikahan, pelecehan seks. Hampir seluruh berita selalu terkait dengan pembodohan, kemiskinan, ketidakberdayaan, dan ketamakan. Video porno pejabat bersama pelacur cantik yang juga siswi SMU beredar melalui ponsel. Seorang lelaki gila sedang diikat dalam kamar rumahnya karena selalu mencari parang untuk mengiris lehernya sendiri. Seorang lagi artis cerai setelah belum berapa lama mereka merayakan pernikahannya ke luar negeri. Anak bawah umur dicabuli temannya sendiri.

Berita itu seperti menjelaskan dengan baik isi buku bacaannya. Si Amat tertarik dengan lelaki gila tadi. Ia mencari channel lain untuk mencari berita itu. Ketemu. Sejenak menyimak duduk perkara, lalu ia tergesa keluar mengunci kamarnya dan pergi dengan wajah panas pucat. Lelaki gila itu adalah bapaknya.

Lima jam perjalanan mobil angkutan antar kota. Di depan rumah orang berkumpul, dan di pinggir jalan melambai kain putih. Seketika ia kehilangan kekuatan, dunia menjadi gelap dan berputar kencang. Dua orang membantunya berdiri dan melangkah mencapai rumah.

Amat Soboyo kini kehilangan segalanya. Tinggal semangat hidup yang dimiliki. Dengan semangat yang terisisa, ia coba mencari tau kepada warga, siapa yang pernah menyewa kerbau bapaknya sebulan terakhir. Warga menjelaskan yang mereka tau. Pak Bangun, Pak Usdi, dan seorang dari luar desa. Mereka melihat kerbau itu diangkut truk. Amat mencari tau ke desa tersebut. Katanya kerbau bapaknya dipakai demonstrasi tani yang turun ke jalan kota sebulan lebih yang lalu.

Makassar, 11 Februari 2010.