Selasa, 07 Agustus 2012

aku tidak sakit

cerpen kedip kecil kemuning (hamdan)
























“Permisi, beli rokok sebungkus pak. Oh iya, Sekarang jam berapa ya pak?”

“Jam 9. Emm… kira-kira lebihnya 20 menitlah dek.”

“Busyet, tepat lagi jawaban orang tua ini”, bisik si penanya sambil berlalu tersenyum sipu setelah membayar rokoknya.

Setiap pagi selalu saja ada yang mampir belanja dan menanyakan jam kepada pak Bedu di gardu jualannya di simpang tiga. Padahal pak Bedu sama sekali tidak punya alat waktu, sementara 8 dari 10 orang yang bertanya itu umumnya memiliki jam tangan atau HP yang setiap saat bisa dilihat. Mereka hanya merasa senang dan lucu saat mendapat jawaban pak Bedu yang selalu tepat dengan margin error 5%. Tapi pak Bedu tidak tau tentang semua itu. Ia hanya tau bahwa delapan bulan terakhir pelanggannya semakin bertambah dan lebih setia, cukup dengan bonus informasi waktu.

Tak disangka pak Bedu menjadi terkenal dikalangan warga sebagai orang dengan kemampuan unik. Di warkop, warung makan, rumah sakit, pasar, sekolah, dan kampus-kampus. Dalam setiap kesempatan ngobrol, seringkali temanya bergeser ke dunia spiritual atau paranormal dan pak Bedu menjadi tokoh lokal di antara deretan tokoh-tokoh nasional seperti Mbah Marijan, Ki Jokobodo, dan lain-lain.

“Pagi pak Bedu, beli roti tawar dan seleinya.”

Setelah membayar dan mengambil belajanya, gadis itu segera balik ke rumahnya, duduk di teras dikitari taman bunga. Duduk diam menulis dan membaca apa saja yang ia siapkan di meja. Sesekali ia menyapu taman meski masih nampak bersih, menggoyang pohon mangga golek agar daun kering lebih cepat jatuh dan disapu. Di antara semua pelanggan pak Bedu, dialah satu-satunya yang paling rajin belanja ke pak Bedu dan dia pula yang tak pernah menanyakan jam.

Begitulah Alisa, sejak hampir sembilan bulan lebih banyak melewati hari-harinya di teras dan taman. Ia bahkan telah menyiapkan la’da [1] ukuran mini untuk berbaring atau tidur jika waktunya. Di samping la’da itu juga ia siapkan sebuah kotak untuk menyimpan carik-carik kertas yang ia sudah tulisi. Jika pak Bedu dianggap unik, maka Alisa dianggap sakit oleh orang tua dan keluarganya, teman-temanya, dan juga oleh warga sekitar lingkungannya. Ia juga menjadi bahan dalam cerita-cerita warga —untuk tidak menyebut pergunjingan, bahkan sebenarnya menyaingi ketenaran pak Bedu dalam tema yang berbeda.

Bagi semua orang, banyak perubahan aneh yang tampak pada diri Alisa dan karenanya ia divonis sakit jiwa. HP dan laptop mahal yang dulu ia miliki diberikan pada Rizka anak pak Bedu. Katanya Ia benci punya HP dan laptop, sedang Rizka mungkin lebih butuh dan bermanfaat. Seminggu yang lalu ibu dan bapaknya jadi sangat marah ketika datang dari Jakarta. Bukan karena HP dan laptop yang disumbangkan ke orang, tapi karena mereka sangat sulit berkomunikasi dengan Alisa. Sebagai anggota Dewan pusat, bapaknya dan berarti juga ibunya harus tinggal 5 tahun di ibu kota. Sedang Alisa tidak senang dan menolak ikut ke ibu kota. Satu-satunya jalan komunikasi hanya dengan telpon, sms atau chatting.

“Apa kamu ingin saya dan bapakmu meninggalkan karir bisnis dan pekerjaan yang sudah dirintis sejak dulu dan tinggal di kampung ini melarat?” Tegas ibunya dengan kesal. Sangat kesal karena semua saran dari ahli psikologi anak dan ahli jiwa yang pernah ia datangi, telah ia lakukan dengan sempurna untuk Alisa. Bahwa anak pada dasarnya tidak membutuhkan banyak materi. Anak tidak boleh terkekang hidup dan pikirannyanya. Yang lebih utama adalah kebutuhan bathin. Komunikasi harus terjaga dengan baik dan intens, hingga keterbukaan bisa tercipta. Macam-macamlah.

Alisa tak bergeming, tetap di teras diam menulis dan membaca surat-suratnya. Semua surat dimasukkan ke amplov dan tersusun rapi dalam kotak plastik. Dalam kotak itu terbagi dua bagian dengan label inbox dan outbox. Kemudian kedua bagian itu diberi lebel; ibu dan ayah, saudara, keluarga, teman, sahabat. Masing-masing bagian kecil itu diberi warna dan gambar hewan yang ia senangi; beruang, kupu-kupu, panda, penguin, dan penyu. Setiap amplov ditempelkan prangko dan diberi cap pos yang ia pesan ditukang stempel.

Banyak sekali surat yang sudah Alisa simpan. Ia menulis semua surat yang tersimpan di inbox dan outbox. Ia menulis surat dari ayah atau ibu, lalu ia juga yang menulis balasannya. Menulis surat buat Ayu, Santi, Syifa, dan banyak lagi teman-temannya, dan ia membalasnya sendiri. Surat buat Agung, Akbar adik dan kakaknya, lalu ia menulis balasannya. Dari Evi sahabatnya sejak SD, dan ia membalasnya pula.

Seluruh surat isinya saling balas membalas, Alisa yang menulisnya dengan tulisan tangan. Tapi setiap orang dalam surat-surat itu memiliki karakter tulisan tangan yang beda. Tulisan bapak dan ibu dengan gaya tulis indah tempo dulu. Ayu dan Santi menulis huruf agak kecil tidak bersambung, Syifa hampir sama tapi hurufnya agak besar dan sedikit miring tersusun rapi. Agung menulis huruf agak tinggi dan Akbar hurufnya agak bulat. Evi masih seperti dulu, tapi tulisannya makin rapi meski tetap saja banyak merubah model huruf yang diajarkan guru bahasa.

Mungkin karakter tulisan tangan mereka aslinya tidak seperti itu. Alisa hanya mengarangnya, karena selama ini ia tak pernah lagi melihat tulisan tangan termasuk dari mereka orang-orang terdekatnya. Bertemu juga makin sulit. Tulisan tangan dan pertemuan kini tidak penting, semua diserahkan pada telepon, sms atau chatting. Sementara kebahagiaan Alisa muncul ketika membaca surat bertulisan tangan. Dengan tulisan tangan, perasaan dan pesan lebih dapat dirasakan, bahkan merasakan lebih dari kehadiran penulisnya. Bagi Alisa tulisan cetak susah; calibri, times new roman, arial, comic sans MS, book antique, bookman old style, semua sama, seragam, tidak mewakilkan kepribadian penulis surat.

Karena itu Alisa merasa sedih tak ada lagi pak pos datang ke rumah membawa surat. Makanya ia lebih senang tinggal diteras. Setiap setengah jam Alisa berdiri menengok-nengok ke jalan. Mungkin saja tukang pos tiba-tiba datang membawa surat, mungkin surat Evi, Martha, Esti, ibu, atau siapa saja. Kadang pergi memasukkan surat atau mengambil surat dalam kotak posnya dekat pagar. Dari sisi pagar itu pula ia dapat menyapa orang-orang lewat minimal dengan senyum, meski senyum yang mereka beri adalah senyum pada orang sakit jiwa.

Hari itu Alisa membaca surat ibunya yang berisi banyak keprihatinan terhadap Alisa, rindu dan sayangnya, serta cerita-cerita pengalaman di ibu kota dan sejumlah kota yang lain. Alisa menulis surat jawaban:

“…Aku tidak sakit ibu. Aku yakin kekhawatiran ibu dan semua keluarga sangat besar kepadaku, hanya karena menganggapku gila seperti anggapan semua orang. Padahal aku hanya tinggal di ruang jiwa yang berbeda, pelik dan jauh. Justru dari ruang sejauh ini aku dapat menjangkau rindu dan sayang seseorang lebih dari apa yang ia rasakan. Ibu berkunjung ke puluhan kota, aku bertamasya ke negeri kebahagiaan. Di sana senyum tumbuh subur seperti taman di rumah kita ini, tak mengenal kota dan desa, tak ada yang cengeng dan manja dengan teknologi, terang benderang tapi tak gemerlap, ramai dan damai, tak ada histeria dan misteri, dan banyak lagi yang berbeda… aku tidak sakit bu.”

Begitulah Alisa terus menulis dengan tangan dan tinta jiwanya. Alisa memberikan HP dan laptopnya ke orang, karena benda itulah yang membunuh pak pos, mengejek dan memojokkan surat tulisan tangan. Laptop itu juga sebenarnya hanya pemberian bapaknya setelah mendapat jata pembagian laptop, mobil dan rumah mewah dari kantor.

Masa-masa awal pasca libur akhir tahun, warga kembali heboh lagi tentang hilangnya kemampuan pak Bedu menebak jam. Semua mitos tentang pak Bedu menjadi runtuh seketika, secepat ia menebak jam. Tapi warga masih penasaran kenapa secepat itu kemampuannya hilang. Ada yang bilang ia melanggar janji yang diikrarkan ketika pak Bedu memperoleh mustika matahari dari seorang guru. Ada yang beranggapan bahwa pak Bedu sedang dalam proses transisi untuk melepaskan mustika mata elang miliknya, dan siapa pun dapat mewarisi, tergantung bacaan pak Bedu.

Di beberapa tempat terpisah, warkop, warung makan, rumah sakit, pasar, sekolah, dan kampus-kampus, sejumlah orang berlarian kumpul di depan tivi. Wawancara langsung via seluler dengan pak Bedu, lewat HP Rizka anaknya.

“Ah … hehehe …macam-macam saja itu. Saya nda punya apa-apa nak, nda ada kekuatan. Nda ada mustika. Apalagi ingin menyaingi Ketua DPW Asosiasi Paranormal. Bagaimana bisa? Saya ini hanya punya sebuah gardu jualan.”

“Ya, halo pak Bedu … suaranya hilang, putus-putus.”

“Kenapa nak? Suara kenapa? Jual? Hilang?”

“Oo… tentang itu…, saya memang sering memberi informasi jam. Tapi sejak masa liburan akhir tahun nak Alisa dipindahkan ke rumah sakit jiwa oleh keluarganya. Nak Alisa itu setiap hari di teras dan depan rumahnya melakukan sesuatu secara terjadwal. Untuk mengetahui jam, saya cukup menoleh apa yang sedang dilakukan Alisa. Itu saja.”

Setelah telewicara itu, sejumlah orang seolah berdemonstrasi menuju gardu mendatangi pak Bedu. Mereka terlihat marah. Meneriaki dan mununjuk-nunjuk pak Bedu sebagai penipu, ingin popular, cari sensasi, kurang kerjaan, Bedu orang sakit, usir Bedu, laporkan Bedu ke polisi. Pak Bedu hanya merasa heran, siapa yang membuatnya terkenal dan memojokkannya kembali?


makassar 10 desember 2010


catatan:

[1] La’da’ adalah sebuah istilah dalam tradisi Bugis khususnya sekitar wilayah Rappang dan Pinrang, berarti sebuah wadah yang diletakkan di bawah rumah untuk santai beristirahat di siang hari, terbuat dari bamboo atau kayu, luasnya tergantung kebutuhan dan tinggi 50-80 cm. Dalam acara-acara keramaian, biasanya tuan rumah meminjam beberapa milik tetangga atau keluarga sebagai tempat penyimpanan alat dapur dan ibu-ibu bekerja menyiapkan konsumsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar