cerpen hamdan
Hatiku benar-benar jatuh tak berdaya, terpikat pada kupu-kupu sejak
pertama kali melihat seekor di kebunku. Aku tidak membenci kupu-kupu,
bahkan sering melihatnya di banyak tempat. Tapi lain dengan yang satu
ini. Ia begitu saja mengalir dengan cepatnya menembus lorong-lorong
saraf, menampik akal sehat, melewatinya dan langsung memenuhi ruang
batinku. Kedatangan yang tiba-tiba itu tentu saja mendebarkan hati
dengan sangat kencang. Aku seperti mendapat serangan pasukan Archilles
yang keluar dari Kuda Troy setelah menyelinap masuk ke istana. Lalu
perlahan pula ia mengalir ke ruang imajinasiku, memenuhinya dan bahkan
membungkusnya dengan beludru sayapnya. Ah… getaran itu, detaknya semakin
kencang. Lebih kencang dari serangan sinar matahari terhadap subuh. Apa
yang telah terjadi? Aku tak pernah berhasil setiap kali mencoba
menyusun kata untuk menjelaskan.
Waktu itu aku sedang di rumah, tepatnya di belakang kamarku menikmati pagi yang menyisahkan kesejukan hujan yang datang semalam. Sesekali tetesan air masih mengilau jatuh dari atap dan pohon. Secangkir teh panas dan beberapa potong ubi jalar goreng cukup menghangatkan tubuh untuk mengimbangi hembusan angin yang kadang menebarkan dingin meski perlahan. Juga sebuah buku kecil yang kubeli sepuluh tahun lalu; "makrifat daun daun makrifat" ditulis Mas Kunto.
Aku senang dengan tulisan-tulisan Mas Kunto. Bukan hanya senang, lebih dari itu ia menjadi teman dialog yang sangat memahami jalan pikiran dan batinku, walaupun aku seringkali kesulitan menjangkau kedalaman seluruh isi pesannya. Setahun yang lalu aku juga membeli tulisannya; “Tuhan dan Masalah yang Belum Selesai”, kalau tidak salah begitu judulnya. Ia seperti membawaku mengelilingi dunia sebagai dunia tanpa batas geografis dan negara.
Di belakang kamar, aku membuat teras dengan bale-bale kecil dari bambu di dalamnya sebagai tempat tamasya imajiner dan spiritual. Setiap hari aku berkesempatan di teras itu. Kadang juga hanya ingin memandang keluar dari jendela tanpa harus ke teras. Jadi kubiarkan saja jendela tetap menjadi jendela, meskipun ia kujadikan jalur keluar masuk kamar-teras. Di luarnya aku membuat kebun mungil untuk menanam pohonan apa saja yang memungkinkan tumbuh di tanahnya, termasuk ubi jalar santapanku. Juga beberapa jenis bunga yang memiliki kembang. Kini semuanya tumbuh rindang dan menjadi rumah bagi sejumlah binatang.
Aku sedang asyik membaca "daun makrifat", kumpulan sajak Mas Kunto. Agak lama bacaannya karena di setiap bait mesti diulang-ulang untuk menangkap maknanya. Pada satu bagian aku mengulangnya lebih lama;
"Dari segala yang terbang kupu-kupu ialah yang kuning dirahmati beludru. Kadang-kadang ia melepas sayap. Karena bunga-bunga seperti kebijaksanaan gugur bersama angin, hanya yang bersayap sanggup menangkap. Dan engkau."
Terus aku mengulang dan merenungi syair itu. Segala yang terbang, kupu-kupu, kuning, beludru, sayap, bunga-bunga, kebijaksanaan, angin, menangkap, engkau. Belum ada yang dapat kupahami dengan baik. Perhatianku beralih saat seekor kupu-kupu menyambar wajahku terbang mengitari teras, ke bunga-bunga dan kebun. Ia hinggap di kembang teratai macan yang pohonnya menempel di batang jambu. Ia memperlihatkan keindahan corak sayapnya, laksana warna-warni beludru tertuang ke dalam kain selendang yang sedang dipakai para penari Akarena. Terbang lagi, mengitar, lalu hinggap di ujung bambu bale-bale.
Semakin dekat dariku, semakin aku diam menatapnya penuh hikmad. Kulemparkan senyum lembut. Ia mengepakkan pula sayapnya lembut, tiga kali. Oh, mungkin ia membalas senyumku. Kujulurkan tangan perlahan, sangat perlahan. Tenang kudekatkan kelima jariku yang terbuka. Ia mengepakkan sayapnya sekali, dan memutar arah menghadap ke jemariku yang berhenti sangat dekat darinya. Aku dan dia sama terdiam. Lalu dua kaki depannya menyentuh ujung jari manisku. Oh, dia menjabat tanganku. Aku menahan nafasku menghindari sedikitpun gerakan. Sayang jika perkenalan itu terganggu dan membuatnya pergi. Saat itulah aku merasakan arus mengalir kuat dan kencang. Debarku juga semakin kencang. Tapi sampai kapan aku dapat menahan nafas?
Kupu-kupu itu telah terbang ke kebun, hinggap ke kembang labu, kembang gambas, lalu menghilang di balik rimbunan tumbuhan. Sedikit penasaran, aku ke kebun mencarinya. Tapi ia benar-benar telah pergi. Baru kali itu ada kupu-kupu yang datang ke kebun. Ah, mungkin aku yang baru melihatnya. Soal kupu-kupu datang ke kebun itu hal biasa. Mungkin halaman rumah para tetangga juga sesekali di datangi kupu-kupu. Tetapi yang luar biasa bagiku adalah si kupu-kupu itu, aku sangat yakin dia berkomunikasi denganku; menerima dan membalas senyumku, uluran tanganku, menjabat jemariku, dan ia menembus ke dalam jiwaku.
Aku jadi teringat dengan hud-hud, seekor burung cerdas dan kreatif di masa Nabi Sulaiman yang mampu berkomunikasi dengan berbagai jenis binatang. Kemampuan hud-hud terbang mengembara kemana-mana, menjadikan ia memiliki pengalaman yang luas. Dan dengan kecerdasan serta pengalamannya itu, Ratu Balqis yang cantik lagi kaya raya takluk mengikuti ajaran Sulaiman untuk mengimani Tuhan. Jelas aku bukan Sulaiman dan tentunya kupu-kupu itu juga bukan hud-hud. Tapi kupu-kupu itu dapat menjadi hud-hud bagiku, tanpa harus menjadikanku Sulaiman baginya.
Sejak saat itu aku selalu memikirkannya. Tidak hanya dia, tetapi kedatangannya. Di hari-hari berikutnya ia selalu datang mengunjungi kebun, masuk ke teras, bahkan sesekali ia tidur di bawah atap teras. Juga beberapa kali dia membangunkan aku saat tidur di teras. Ia hinggap dan menyapu-nyapukan kakinya di atas hidungku. Sapuannya yang lembut membuat aku terbangun. Kubuka mata perlahan dan melihatnya sedang menyapu kulit hidung. Aku tak bergerak seolah belum sadar agar dapat menatapnya dekat. Tapi aku tak sudi membohonginya atau mensiasati keadaan demi dekat dekannya. Apalagi dengan jarak seperti itu, kedua bola mataku harus juling mengarah ke tengah-bawah. Maka segera aku menggerakkan kaki sebagai bahasa bangunku padanya dan ia terbang.
Aku juga tak ingin menangkap lalu memeliharanya sebagai milikku. Aku benci dengan logika pemilikan, karena dengan logika itu setiap pikiran, sikap, dan tindakan, seringkali berlangsung atas dasar kekuasaan. Aku berkuasa atasnya karena aku miliknya atau kerana ia memilikiku. Bahkan kasih sayang yang “dimiliki”, juga akan diberikan atas dasar kekuasaan. Aku benci logika itu. Aku tak ingin memiliki kasih dan sayang. Aku hanya ingin kasih sayang itu tumbuh dalam jiwaku sebagai kebun di depan teras dan semua boleh menikmati minimal memandang dan menangkap keindahannya.
Karena itu pula aku tak mau mencintainya. Aku tak pernah percaya pada cinta, melainkan hanya percaya pada hati. Cinta hanya mencuri dan mengumpulkan rasa dari hati, dari tempat aslinya. Cinta lalu memiliki segala rasa rampasan itu termasuk rasa kasih dan sayang, dan membuat jiwa mabuk meninggalkan kesadaran. Cinta menjadi kuasa atas jiwa, dan memberi segala rasanya pada jiwa atas dasar kekuasaan. Begitulah orang percaya bila cinta itu berjuta rasa, mengalahkan segalanya, buta, indah, dan seterusnya.
Tak lama dari hari itu, kupu-kupu menjadi bab baru dalam kitab suci hidupku. Aku menamakannya bab kasih sayang. Ya, kedua sayapnya yang menyatukan warna-warni dan kelembutan adalah kasih sayang. Kasih sayanglah yang membuatnya terbang layaknya hud-hud. Kasih sayang adalah apa yang disebut para sufi sebagai fadhilah yang berarti keutamaan. Hanya dari kedua sifat itu dapat tumbuh sifat-sifat mulia yang lain. Basmalah adalah kupu-kupu yang terbang dengan kedua sayapnya mengelilingi semesta, hinggap ke bintang-bintang, bulan, awan, bumi, kebun dan teras. Kasih sayang tidak untuk di miliki, tetapi untuk ditabur dan tumbuh dimana saja.
Kupu-kupu, maafkan jika aku belum sepenuhnya mencapai kuntum-kuntum kebijaksanaan dalam kebun. Aku masih belajar menggunakan sayap kelembutanmu untuk mendatangi seribu kebun, berlatih hinggap dengan tenang di atas kembang tanpa menggugurkan setitikpun serbuk sarinya, berlatih tidur di balik daun tanpa menambah bebannya, belajar memaknai sepi menjadi indah. Masih banyak yang harus aku baca dari setiap lembar kepakanmu.
Kini aku tak pernah menanti kupu-kupu, karena ia telah bersemayam dan terbang dengan kedua sayapnya mengitari cakrawala jiwaku. Walaupun kadang-kadang aku merindukannya hinggap di atas hidungku, bukan untuk membangunkan melainkan menciumku.
Makassar, 13 Desember 2009
Waktu itu aku sedang di rumah, tepatnya di belakang kamarku menikmati pagi yang menyisahkan kesejukan hujan yang datang semalam. Sesekali tetesan air masih mengilau jatuh dari atap dan pohon. Secangkir teh panas dan beberapa potong ubi jalar goreng cukup menghangatkan tubuh untuk mengimbangi hembusan angin yang kadang menebarkan dingin meski perlahan. Juga sebuah buku kecil yang kubeli sepuluh tahun lalu; "makrifat daun daun makrifat" ditulis Mas Kunto.
Aku senang dengan tulisan-tulisan Mas Kunto. Bukan hanya senang, lebih dari itu ia menjadi teman dialog yang sangat memahami jalan pikiran dan batinku, walaupun aku seringkali kesulitan menjangkau kedalaman seluruh isi pesannya. Setahun yang lalu aku juga membeli tulisannya; “Tuhan dan Masalah yang Belum Selesai”, kalau tidak salah begitu judulnya. Ia seperti membawaku mengelilingi dunia sebagai dunia tanpa batas geografis dan negara.
Di belakang kamar, aku membuat teras dengan bale-bale kecil dari bambu di dalamnya sebagai tempat tamasya imajiner dan spiritual. Setiap hari aku berkesempatan di teras itu. Kadang juga hanya ingin memandang keluar dari jendela tanpa harus ke teras. Jadi kubiarkan saja jendela tetap menjadi jendela, meskipun ia kujadikan jalur keluar masuk kamar-teras. Di luarnya aku membuat kebun mungil untuk menanam pohonan apa saja yang memungkinkan tumbuh di tanahnya, termasuk ubi jalar santapanku. Juga beberapa jenis bunga yang memiliki kembang. Kini semuanya tumbuh rindang dan menjadi rumah bagi sejumlah binatang.
Aku sedang asyik membaca "daun makrifat", kumpulan sajak Mas Kunto. Agak lama bacaannya karena di setiap bait mesti diulang-ulang untuk menangkap maknanya. Pada satu bagian aku mengulangnya lebih lama;
"Dari segala yang terbang kupu-kupu ialah yang kuning dirahmati beludru. Kadang-kadang ia melepas sayap. Karena bunga-bunga seperti kebijaksanaan gugur bersama angin, hanya yang bersayap sanggup menangkap. Dan engkau."
Terus aku mengulang dan merenungi syair itu. Segala yang terbang, kupu-kupu, kuning, beludru, sayap, bunga-bunga, kebijaksanaan, angin, menangkap, engkau. Belum ada yang dapat kupahami dengan baik. Perhatianku beralih saat seekor kupu-kupu menyambar wajahku terbang mengitari teras, ke bunga-bunga dan kebun. Ia hinggap di kembang teratai macan yang pohonnya menempel di batang jambu. Ia memperlihatkan keindahan corak sayapnya, laksana warna-warni beludru tertuang ke dalam kain selendang yang sedang dipakai para penari Akarena. Terbang lagi, mengitar, lalu hinggap di ujung bambu bale-bale.
Semakin dekat dariku, semakin aku diam menatapnya penuh hikmad. Kulemparkan senyum lembut. Ia mengepakkan pula sayapnya lembut, tiga kali. Oh, mungkin ia membalas senyumku. Kujulurkan tangan perlahan, sangat perlahan. Tenang kudekatkan kelima jariku yang terbuka. Ia mengepakkan sayapnya sekali, dan memutar arah menghadap ke jemariku yang berhenti sangat dekat darinya. Aku dan dia sama terdiam. Lalu dua kaki depannya menyentuh ujung jari manisku. Oh, dia menjabat tanganku. Aku menahan nafasku menghindari sedikitpun gerakan. Sayang jika perkenalan itu terganggu dan membuatnya pergi. Saat itulah aku merasakan arus mengalir kuat dan kencang. Debarku juga semakin kencang. Tapi sampai kapan aku dapat menahan nafas?
Kupu-kupu itu telah terbang ke kebun, hinggap ke kembang labu, kembang gambas, lalu menghilang di balik rimbunan tumbuhan. Sedikit penasaran, aku ke kebun mencarinya. Tapi ia benar-benar telah pergi. Baru kali itu ada kupu-kupu yang datang ke kebun. Ah, mungkin aku yang baru melihatnya. Soal kupu-kupu datang ke kebun itu hal biasa. Mungkin halaman rumah para tetangga juga sesekali di datangi kupu-kupu. Tetapi yang luar biasa bagiku adalah si kupu-kupu itu, aku sangat yakin dia berkomunikasi denganku; menerima dan membalas senyumku, uluran tanganku, menjabat jemariku, dan ia menembus ke dalam jiwaku.
Aku jadi teringat dengan hud-hud, seekor burung cerdas dan kreatif di masa Nabi Sulaiman yang mampu berkomunikasi dengan berbagai jenis binatang. Kemampuan hud-hud terbang mengembara kemana-mana, menjadikan ia memiliki pengalaman yang luas. Dan dengan kecerdasan serta pengalamannya itu, Ratu Balqis yang cantik lagi kaya raya takluk mengikuti ajaran Sulaiman untuk mengimani Tuhan. Jelas aku bukan Sulaiman dan tentunya kupu-kupu itu juga bukan hud-hud. Tapi kupu-kupu itu dapat menjadi hud-hud bagiku, tanpa harus menjadikanku Sulaiman baginya.
Sejak saat itu aku selalu memikirkannya. Tidak hanya dia, tetapi kedatangannya. Di hari-hari berikutnya ia selalu datang mengunjungi kebun, masuk ke teras, bahkan sesekali ia tidur di bawah atap teras. Juga beberapa kali dia membangunkan aku saat tidur di teras. Ia hinggap dan menyapu-nyapukan kakinya di atas hidungku. Sapuannya yang lembut membuat aku terbangun. Kubuka mata perlahan dan melihatnya sedang menyapu kulit hidung. Aku tak bergerak seolah belum sadar agar dapat menatapnya dekat. Tapi aku tak sudi membohonginya atau mensiasati keadaan demi dekat dekannya. Apalagi dengan jarak seperti itu, kedua bola mataku harus juling mengarah ke tengah-bawah. Maka segera aku menggerakkan kaki sebagai bahasa bangunku padanya dan ia terbang.
Aku juga tak ingin menangkap lalu memeliharanya sebagai milikku. Aku benci dengan logika pemilikan, karena dengan logika itu setiap pikiran, sikap, dan tindakan, seringkali berlangsung atas dasar kekuasaan. Aku berkuasa atasnya karena aku miliknya atau kerana ia memilikiku. Bahkan kasih sayang yang “dimiliki”, juga akan diberikan atas dasar kekuasaan. Aku benci logika itu. Aku tak ingin memiliki kasih dan sayang. Aku hanya ingin kasih sayang itu tumbuh dalam jiwaku sebagai kebun di depan teras dan semua boleh menikmati minimal memandang dan menangkap keindahannya.
Karena itu pula aku tak mau mencintainya. Aku tak pernah percaya pada cinta, melainkan hanya percaya pada hati. Cinta hanya mencuri dan mengumpulkan rasa dari hati, dari tempat aslinya. Cinta lalu memiliki segala rasa rampasan itu termasuk rasa kasih dan sayang, dan membuat jiwa mabuk meninggalkan kesadaran. Cinta menjadi kuasa atas jiwa, dan memberi segala rasanya pada jiwa atas dasar kekuasaan. Begitulah orang percaya bila cinta itu berjuta rasa, mengalahkan segalanya, buta, indah, dan seterusnya.
Tak lama dari hari itu, kupu-kupu menjadi bab baru dalam kitab suci hidupku. Aku menamakannya bab kasih sayang. Ya, kedua sayapnya yang menyatukan warna-warni dan kelembutan adalah kasih sayang. Kasih sayanglah yang membuatnya terbang layaknya hud-hud. Kasih sayang adalah apa yang disebut para sufi sebagai fadhilah yang berarti keutamaan. Hanya dari kedua sifat itu dapat tumbuh sifat-sifat mulia yang lain. Basmalah adalah kupu-kupu yang terbang dengan kedua sayapnya mengelilingi semesta, hinggap ke bintang-bintang, bulan, awan, bumi, kebun dan teras. Kasih sayang tidak untuk di miliki, tetapi untuk ditabur dan tumbuh dimana saja.
Kupu-kupu, maafkan jika aku belum sepenuhnya mencapai kuntum-kuntum kebijaksanaan dalam kebun. Aku masih belajar menggunakan sayap kelembutanmu untuk mendatangi seribu kebun, berlatih hinggap dengan tenang di atas kembang tanpa menggugurkan setitikpun serbuk sarinya, berlatih tidur di balik daun tanpa menambah bebannya, belajar memaknai sepi menjadi indah. Masih banyak yang harus aku baca dari setiap lembar kepakanmu.
Kini aku tak pernah menanti kupu-kupu, karena ia telah bersemayam dan terbang dengan kedua sayapnya mengitari cakrawala jiwaku. Walaupun kadang-kadang aku merindukannya hinggap di atas hidungku, bukan untuk membangunkan melainkan menciumku.
Makassar, 13 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar