Cerpen Hamdan
Seharusnya di pagi seperti ini titik-titik embun itu telah memantulkan
kilau di atas wajah hijau dedaun, rumputan serta kelembutan kembang yang
ada di sekitar rumah. Bergoyang dalam simponi sejuk sepoi angin pagi
dan memainkan kilau dari sinar matahari pagi. Kemilau yang memainkan
warna-warni pelangi dari intipan matahari pagi. Dan ribuan titik embun
menjadi kembang cahaya.
Seharusnya seperti biasa di pagi seperti ini aku telah menyentuh
kembang-kembang itu atau sedikit menggoyangkan daun atau menggetarkan
ranting agar titik embun bergulir ke jemariku dan jemariku pun menjadi
kelopak kembang cahaya. Siapa pun pasti dapat membayangkan betapa
bahagianya jika jemarinya menjadi kelopak dari kembang cahaya. Kupu-kupu
dari manakah yang dapat mengenal sari madu kembang cahaya hingga mereka
dapat hinggap dan menghisapnya?
Harusnya aku telah menyentuhkan kembang itu ke wajahku. Sentuhannya yang
lembut serta dingin tak berbau, mengalir kencang melampaui kecepatan
cahaya dalam rumus fisika. Menembus jiwa, menyibak gorden jendela
sukmaku dan menabur kesejukan ke seluruh ruangnya. Kelembutan yang
mengandung energy tak terumuskan itu, menjadi jalanmu untuk hadir
bersamaku di pagi hari mendahului matahari mencapai pucuk-pucuk daun di
ujung ranting.
Karena itu harusnya di pagi ini engkau telah hadir dengan senyuman
indahmu yang tak seorang pun miliki keindahannya. Senyum yang tak
tertandingi. Keindahan senyummu itu membuatku memiliki keyakinan lain
terhadap pagi, yakni pagi ketika kau datang. Suatu pagi yang tampak sama
dengan pagi-pagi yang lain setiap hari, tetapi sebenarnya begitu
berbeda. Bahwa pagi ketika kau datang, keceriaan burung-burung cakuridi
bersayap kuning, burung-burung kutilang dengan nyanyi siul, cekke-cekke
dengan nuansa biru, kelincahan burung-burung pipit dan ragam cuit,
kelincahan sriti, dan lain-lain, bukan karena rutinitas mereka terbiasa
menyambut matahari dan pagi, tetapi sesungguhnya karena mereka terpesona
dengan indah senyummu. Begitulah mereka saling berebut perhatianmu.
Karena senyummu yang mempesona itu, kadang-kadang aku cemburu kepada
burung-burung itu dan kupu-kupu yang begitu bahagia dengan senyummu.
Cemburu karena aku merasa bahwa kedatangan dan senyummu bukan untuk
diriku tetapi untuk mereka.
Memang tidak setiap pagi kembang-kembang cahaya itu mekar berkilau. Tapi
aku tau jika pagi ini seharusnya ia mekar. Dulu engkau pernah tanya
padaku bagaimana aku dapat mengetahui saat pagi yang mana kembang cahaya
dapat mekar?Aku tak tahu bagaimana bisa menjelaskannya padamu agar
engkau dapat memahaminya. Aku dapat saja menjawab bahwa ia
memberitahukannya padaku setiap kali ia hendak mekar. Tetapi engkau
pasti bertanya lagi, “bagaimana kembang menyampaikan pesan itu?”
Pertanyaanmu memang sedikit, tetapi jawabannya pasti menjadi panjang.
Agar lebih singkat, aku menjawab seadanya; “aku bukan mengetahuinya,
melainkan merasakannya sebagaimana engkau merasakan kerinduanku padamu”.
Jawaban sederhana itu membuatmu tersenyum dan bertanya canda padaku;
“ooh… apakah aku merindukanmu?”
Kini aku juga belum tahu kenapa pagi ini kembang cahaya itu tidak mekar.
mestinya ia pasti memberitahukan padaku sebelumnya setiap kali ia akan
mekar. Tetapi soal mengapa tidak mekar di pagi ini, ia belum memberi
tahu sebelumnya, atau mungkin ia takkan memberi tahu. Satu-satunya yang
dapat aku pastikan walaupun ia tak memberi tahuku sebelumnya adalah
ketika purnama datang. Aku sudah menandai bahwa setiap kali purnama
telah memendarkan kesempurnaan cahayanya di suatu malam, kembang-kembang
cahaya itu pasti mekar di pagi hari. Aku tak bisa lupa hal itu karena
aku juga selalu menanti purnama. Bukan hanya kesempurnaan cahaya yang
aku senang pada purnama, tetapi juga setiap kali ia menyempurnakan
cahaya, ia pasti berada tepat di depan teras rumahku. Di saat itulah aku
dapat memandang ke arah utara, pada sebuah bintang yang paling jauh nan
sepi, sendiri, kedipannya kecil kemuning, dialah kesempurnaan
kerinduan. Kesempurnaan cahaya dan kesempurnaan kerinduan menyatu di
malam purnama.
Keindahan mekar kembang cahaya di pagi setelah purnama adalah
manifestasi dari kedua kesempurnaan yang menyatu itu berwujud dalam
kembang cahaya rindu. Jadi inilah kembang yang paling sempurna, kembang
bertabur kemilau cahaya rindu. Lalu engkau yang hadir menjadi bagian
dari kesempurnaan, juga bagian dari kemilau, juga bagian dari cahaya,
dan juga menjadi bagian dari kerinduan. Kembang cahaya rindu menjadi
bagian terpenting dari hidupku setelah ruhku, bahkan sebenarnya
diam-diam aku merasakan bahwa sebenarnya kembang itu adalah ruhku
sendiri.
Aku seperti kehilangan hampir seluruh bagian dalam hidupku karena pagi
ini bukan pagi dimana kembang cahaya rindu hadir dalam jiwaku. Kini
hanya pagi biasa sebagaimana pagi lain sepanjang waktu, tanpa kemilau
kembang, tanpa kemilau cahaya, tanpa kemilau rindu dan kemilau senyummu.
Burung-burung pun memberikan nyanyian pesakitan, nyanyian hysteria
penderitaan dari penjara rutinitas pagi, nyanyian yang terpenjara oleh
waktu. Daun-daun juga menghijau seadanya mengesankan batas-batas usia,
hijau yang tersandra waktu hingga mereka menjadi coklat kering dan
berguguran.
Tapi aku tak perlu pemberitahuan atau alasan. Ini hanya suatu bagian
yang mesti dilalui, bahwa untuk mencapai kesempurnaan kerinduan, aku
harus memiliki kualita-kualita sepi dan kesendirian yang melampaui ruang
dan waktu. Dalam perjalanan melewati tapak sepi ada banyak kesenangan
dan penderitaan yang mengajakku melupakan puncak rindu. Ya, ini soal
kesetiaan bahwa kualitas kesetiaan akan teruji dengan kedalaman rindu,
tidak dalam kebersamaan sepanjang ruang dan waktu.
Seharusnya pagi ini, ah… tidak... bukan seharusnya, pagi ini aku harus
mulai membaca kitab-kitab sunyi dan sepi serta risalah kerinduan. Aku
yakin pada lembar-lembar tertentu aku akan mendapatkan bahwa kembang
cahaya rindu itu sungguh adalah wajah senyummu yang mekar kemilau di
hatiku, tidak lagi pada dedaun pagi hari di halaman rumahku.
makassar, tengah juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar