cerpen hamdan
Masih sangat pagi. Bahkan burung-burung baru satu dua kali mengicau. Tapi pak Soboyo sudah teriak meraung. Wajahnya sekejap memerah dialiri air mata. Suaranya pun seolah memecah sejuk-sepi dusun, menggetarkan rumahnya yang telah miring dimakan waktu. Di tiang pintu kandang, ia tersandar duduk tak berdaya. Tanah becek oleh kotoran kerbau menyelup pantatnya. Tatapan kosong menerawang. Setelah cukup lama, raungan itu melemah sebagai suara tangis biasa. Ia baru saja mengetahui bila dua ekor kerbaunya lenyap dari kandang di belakang rumah.
Warga sekitar terbangun dan berdatangan menuju kandang. Beberapa orang berusaha mengangkat pak Soboyo, tetapi ia seperti terikat erat di tiang. Seorang yang lain berusaha membujuk menyabarkan hatinya. Ia tak bergerak sedikit pun. Hanya tangis yang terus terdengar. Beberapa yang lain mencoba mengikuti jejak kerbau. Agak sulit menandai bekas kuku kerbau karena jalan berbatu dan berumput. Apalagi semalam hujan cukup deras. Sedikit petunjuk mengarah ke jalan, menuju Barat dan berhenti di gundukan kerikil tertutup ditumbuhi rumputan.
Setelah beberapa lama berkumpul, berceritra, berspekulasi tentang pencurian kerbau pak Soboyo, satu persatu warga dusun pulang memeriksa binatang ternaknya.
Dusun Butan, oleh pemerintah tergolong miskin, umumnya warga adalah buruh tani. Tanah dan lahan adalah milik sejumlah pejabat berduit. Warga diizinkan tinggal dan membangun rumah serta mengolah lahan sawah dan kebun, tetapi tidak untuk dimiliki. Yang tak mendapat cukup lahan garapan, mereka berusaha menambah kerjaan lain dengan memelihara satu dua ekor kerbau, kuda atau sapi sebagai alat transportasi sewaan, terutama ketika masa panen tiba.
Di daerah lain, kehilangan kerbau mungkin tidak begitu sakit rasanya. Namun bagi pak Soboyo, kerbau itu adalah harta satu-satunya yang paling berharga, karena ia tak memiliki tanah sejengkal pun dan rumahnya tinggal menunggu waktu kerobohannnya. Juga bukan harga kerbau perekor yang ia sedihkan, tetapi sebagai petani penggarap sawah, dua ekor kerbau itulah yang ia andalkan untuk memperoleh penghasilan membiayai anak satu-satunya. Ia bahkan telah rencana menjual seekor untuk biaya penyelesaian program sarjana anaknya.
Istrinya telah meninggal setahun lalu terserang penyakit yang mereka sendiri tidak pahami. Hampir semua kaum ibu yang mati disebabkan oleh penyakit serupa. Ada yang bilang penyakit seperti itu turunan perempuan, ada juga yang bilang penyakit menular pada perempuan dewasa. Bahkan yang paling ekstrim berpikir bila itu penyakit kutukan bagi perempuan. Padahal istrinya sangat rajin bersamanya mengurus kebun Tuan Badar. Demikian juga almarhumah yang lain di dusun itu.
Semakin jauh mata menerawang, makin sedih lagi hati pak Soboyo. Ia merasa seperti masuk jebakan penipuan dari kampanye pemerintah saat suksesi lalu bahwa pendidikan itu investasi yang harus di bayar mahal dan kami berjanji jika terpilih nanti akan menggratiskan pendidikan dan kesehatan. Tetapi ia juga membayangkan setelah kerbau hilang, anaknya masih akan menganggur entah sampai kapan dalam sulitnya mendapat kerja yang lebih baik dari apa yang ia kerja sekarang. Pendidikan dan pekerjaan, seperti jalan panjang berbatu di desanya yang membentang dua arah, ke Barat dan Timur, sulit terbayangkan ketemunya di mana.
Semakin menerawang semakin sedih. Ingin mengeluh ke pemerintah, tetapi pemerintahan juga telah menjadi dunia pencurian besar-besaran. Mereka saling menuduh maling dengan senyum tanpa malu. Pak Soboyo menjadi tidak yakin jika yang mengambil kerbaunya adalah para penganggur yang terdesak kemiskinan. Jangan-jangan para koruptor yang kehilangan garapan korupnya terhadap kekayaan Negara, lalu mencuri langsung milik rakyat sebelum beralih ke tangan Negara dengan cara bermitra bersama para penganggur itu.
Pak Soboyo makin jauh menerawang. Ia masih duduk. Sarung yang ia kenakan seluruhnya telah basah oleh becek kandang. Kesedihannya liar kemana-mana. Ia tak pernah yakin bahwa nasib miskinnya adalah pemberian tuhan, tetapi dari keserakahan. Sebagai seorang mantan prajurit, dulu ia pernah tinggal di pinggiran kota, hingga melewati masa pensiun dan akhirnya tanah serta rumah yang ditinggali puluhan tahun digusur oleh Negara. Dengan kecewa, ia memutuskan segala hubungan sejarahnya terhadap Negara. Ia benci Negara yang tidak mengenal warganya, bahkan warga dimiskinkan dan mengemis pada Negaranya sendiri. Dengan modal seadanya ia ikut tinggal di dusun itu, menjadi buruh tani, dan kini kerbaunya dicuri.
Semakin sedih karena ia merasa menderita di negeri sendiri. Negara tak pernah mengenal ia sebagai warganya. Beberapa waktu lalu ia mendengar cerita tentang rakyat yang turun ke jalan membawa kerbau dengan aneka warna dan tulisan. Negara bereaksi dan mengartikan kerbau sebagai makhluk gemuk serta pemalas, dan artinya juga miskin. Padahal sejak awal kerbau dan sapi sangat menentukan perkembangan pertanian hingga Negara tak perlu lagi mengimpor pangan. Jasa kerbau sudah terlupakan oleh mesin traktor. Lalu dengan kelupaannya dengan kerbau, Negara tersinggung pada mereka yang menarik kerbau di jalan.
***
Siang itu, Amat sedang membaca buku “Great Disruption” yang di tulis Fukuyama, sambil menikmati lagu-lagu; Come Back to Sorronto, Besame Mucho, Africa Bamba, Quizas, Corazon Espinado, Guajira, Historia de un Amor, dan lain-lain. Amat juga melirik nguping berita siang di televisi. Perampokan, pelacuran, pembunuhan, pencurian, bunuh diri, korupsi, perceraian, pernikahan, pelecehan seks. Hampir seluruh berita selalu terkait dengan pembodohan, kemiskinan, ketidakberdayaan, dan ketamakan. Video porno pejabat bersama pelacur cantik yang juga siswi SMU beredar melalui ponsel. Seorang lelaki gila sedang diikat dalam kamar rumahnya karena selalu mencari parang untuk mengiris lehernya sendiri. Seorang lagi artis cerai setelah belum berapa lama mereka merayakan pernikahannya ke luar negeri. Anak bawah umur dicabuli temannya sendiri.
Berita itu seperti menjelaskan dengan baik isi buku bacaannya. Si Amat tertarik dengan lelaki gila tadi. Ia mencari channel lain untuk mencari berita itu. Ketemu. Sejenak menyimak duduk perkara, lalu ia tergesa keluar mengunci kamarnya dan pergi dengan wajah panas pucat. Lelaki gila itu adalah bapaknya.
Lima jam perjalanan mobil angkutan antar kota. Di depan rumah orang berkumpul, dan di pinggir jalan melambai kain putih. Seketika ia kehilangan kekuatan, dunia menjadi gelap dan berputar kencang. Dua orang membantunya berdiri dan melangkah mencapai rumah.
Amat Soboyo kini kehilangan segalanya. Tinggal semangat hidup yang dimiliki. Dengan semangat yang terisisa, ia coba mencari tau kepada warga, siapa yang pernah menyewa kerbau bapaknya sebulan terakhir. Warga menjelaskan yang mereka tau. Pak Bangun, Pak Usdi, dan seorang dari luar desa. Mereka melihat kerbau itu diangkut truk. Amat mencari tau ke desa tersebut. Katanya kerbau bapaknya dipakai demonstrasi tani yang turun ke jalan kota sebulan lebih yang lalu.
Makassar, 11 Februari 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar