cerpen kedip kecil kemuning (hamdan)
Perlahan matahari melompati ranting demi ranting menuju pucuk terendah. Melewati gedung-gedung dan rumah berjejeran, yang dikonstruksi megah sedemikian rupa dengan gaya-gaya sensual personal seolah menegaskan kepada matahari bila para penghuni hanya membutuhkan terang, tidak pada panasnya yang menyengat. Alisa menyelesaikan tegukan ketiga dari teh yang dipesannya. Sebuah kafe dengan konsep natural; rimbun pohanan, sejuk, terang selama 24 jam, hingga pengunjung tak lagi merasakan siang atau malam, terik, mendung atau hujan. Matahari, bintang dan bulan tidak lagi menjadi penanda waktu bagi ruang kafe.
“Mengapa kau menceritakan kisah itu padaku Alisa?”
“Aku baru mengarang cerita itu. Aku selalu menceritakannya kepada orang lain agar tidak terlupa”.
Zen belum yakin dengan alasan sesederhana itu. Ia yakin bahwa alasan yang kuat dan tepat selalu mengandung urgensitas serta signifikansi yang lebih dari sekedar takut lupa. Karenanya ia terus mendesak alasan Alisa. Apalagi cerita itu baginya memiliki pesan yang cukup kuat.
Alisa melanjutkan ceritanya yang lain, tentang dirinya yang mengalami perasaan ditinggalkan dan kini kehilangan. Ditinggal oleh diri sendiri, lalu jauh dari kehidupan yang sesungguhnya. Terlalu sedikit orang dapat bersama dirinya, betul-betul dengan diri sendiri dapat menentukan dan memutuskan pilihan-pilihan dalam hidup. Alisa memandang sejumlah hidangan dan minuman ternama di depan Zen.
“Siapa yang menentukan seleramu Zen? Selera makan, minum, fantasi, seks, birahi, kecantikan, cinta, atau apa sajalah?”
Alisa memesan secangkir lagi setelah meneguk habis yang tersisa dari cangkirnya. Seteguk teh sangat jelas mengalir di rongga leher menerobos hingga ke lubuk hatinya. Ia sedang menelan hidup pekat manis. Senang, sedih, marah, diam, takut, gembira, semangat, tersinggung, senyum, dan sebagainya, tidak pernah lagi manjadi bagian diri. Semua telah dikondisikankan orang lain, segelintir orang yang sedang berkuasa dengan hirarki tak nampak. Mereka merancang selera dan dipajang di etalase, mall, pasar, toserba, supermarket, minimarket, warung, toko, di mana-mana, termasuk di kafe. Lalu setiap orang pada setiap generasi lahir membentuk dirinya dari pajangan-pajangan itu, menegaskan kediriannya dari ramuan selera itu.
Zen sedang mungunyah makanan ringan favoritnya. “Akulah sendiri yang menentukan semuanya.”
“Oh ya? Benarkah? Kau jatuh cinta dan kini sedang menjalin asmara dengan Chintya, gadis yang menurut seleramu sangat ideal. Padahal orang lainlah yang merancang semua selera termasuk selera Chintya dan seleramu sejak lahir. Coba kau lihat; rambutnya olahan Ryekke Salon. Wajah, kulit, body, semua hasil racikan dari Rara Beauty Spa dengan beragam konsep dan merek produk kecantikan. Pakaiannya dibeli dari butik mewah dengan merek termahal dan terbaru. Pasar Zen! Pasar yang mengkonstruksi seleramu dan kekasihmu, lalu dengan itu juga engkau berselera dan cintamu jatuh padanya.”
***
“Pernahkah engkau mengalami perasaan ditinggalkan?”
Pertanyaan itu terus mengikutinya tak memilih ruang dan waktu. Kadang datang bagai petir menyambarkan ketajaman cahaya bersusulan gelegar guntur memekak telinga dan menggetarkan apa saja yang dicapainya. Lalu jantungnya pun berdetak kencang mengguncang hingga ke pojok-pojok nadi. Kadang datang sebagai gadis kecil cantik dengan bulu mata lentik dan kedalaman pandang mata yang tak terjangkau dasarnya, serta kelembutan suara padu dengan bibir mungil yang membuat seorang tak punya alasan untuk berhenti memberikan senyum padanya. Pernah datang sebagai kupu-kupu terbang mengitar dengan kelincahan kepak dan keindahan sayap, kelembutannya semakin kuat dengan paduan kuning kecoklatan.
“Pernahkah engkau mengalami perasaan ditinggalkan?”
Pertama kali pertanyaan itu datang dari Alisa di sebuah kafe. Awalnya ia tanggapi sebagai bualan pengisi waktu yang segera hilang setelah minuman habis. Tetapi esok hari, tetangganya, Dinu dan Nyonya Dinu, bercerai karena perkara rencana menghadiri ramah-tamah kantor. Dinu telah memesan sepasang pakaian di Perfect Butik yang memiliki reputasi tinggi soal pakaian. Kini butik itu memiliki konsep dan produk baru. Dengan mengenakan produk itu, ia dan istrinya akan berbeda dengan undangan lainnya. Istrinya pasti suka. Ternyata Istrinya sangat marah karena juga telah memesan sepasang di tempat lain dengan sangat yakin suaminya pasti suka. Jalan tengahnya, Dinu mengenakan pakaian pesanannya dan Nyonya Dinu juga begitu. Selepas acara, pasangan ini merasa merekalah pasangan paling tidak serasi dan pasti jadi bahan gunjingan. Begitulah pertengkaran itu berlanjut dan berkembang hingga bercerai.
“Apakah seluruh yang hadir di pesta itu adalah segerombol diri atau segerombol aku?” Zen menanya dirinya.
Malam ini pertanyaan itu datang sebagai suara air yang jatuh dari saluran atap, menitik-tetes ke genangan air pada lubang kecil tanah setelah dibentuknya sendiri sejak awal musim hujan kali ini. Suara yang dikeluarkannya tak semerdu alunan seruling nabi Daud atau biola Vivaldi dan Sardi. Ia tak dapat disandingkan dengan kedua alat musik itu karena nada dan temponya tersusun dari hembusan sepoi angin yang meniupkan dingin dan hening. Semakin lama suara itu tersusun menjadi bait-bait syair yang melantunkan rintihan kesendirian. Bukan. Bukan lagi kesendirian, melainkan tak memiliki diri. Setiap bait syair diawali dengan pertanyaan itu; pernahkah engkau mengalami perasaan ditinggalkan? Semakin lama bait-bait sya’ir itu tidak hanya terdengar melantun rintih ketiadaan, tetapi nampak tertulis di atas lembar-lembar sobekan sepi; engkau nampak tetapi sedang tiada.
“Apakah ini akan menuntunku menjawab pertanyaan itu?” Zen membisik batinnya. “Aku pernah, aku dapat merasakan bagaimana perasaan seseorang saat ditinggalkan. Mereka sering bercerita kepadaku tentang penderitaannya yang teramat perih menyayat hati. Aku menangis seperti mereka menangis, aku meraung seperti raungan mereka, aku marah sebagaimana mereka marah”.
“Engkau keliru anak muda! Engkau hanya merasakan perasaan orang-orang yang merasa ditinggalkan”. Suara tik-tik air itu membantah Zen. Suaranya semakin lembut menyempurnakan sunyi.
“Aku pernah ditinggalkan oleh seseorang yang paling aku sayangi dan sangat menyayangiku.”
“Ya betul. Engkau tidak beda dengan orang-orang yang merasa ditinggalkan seperti dalam ceritamu itu. Kecewa, tangis, sesal, meraung, meradang, semua terjadi bukan karena ditinggalkan, tapi lebih karena segala keinginanmu terhadapnya dan keinginannya terhadapmu tak dapat lagi berjalan seperti yang diinginkan. Tak dapat berjalan lebih dari seperti biasa, yang telah tersusun dalam rencana-rencana indah berdua di hari esok. Engkau hanya menangisi keinginan yang tersumbat.”
“Aku menyayanginya dengan ketulusan yang teramat dalam. Ketulusan cinta, cinta yang tulus.”
“hahaha … pandai betul kau mewarisi keahlian menggombal.” Air itu, suaranya semakin dingin dan basah. “Anak muda, ketulusan cinta. Kau bahkan tak tau membedakan antara ketulusan dan cinta. Apakah engkau mencintai dirinya atau mencintai apa yang ia representasikan tentang dirinya?”
“Tapi awalnya aku memiliki cin…, hei…, ke mana kau…?” Zen telah ditinggal pergi oleh suara itu.
Tetes air semakin lambat dan ringan. Sepi perlahan berubah menjadi sekedar diam. Ia telah ditinggal oleh tetes air itu. Besok malam hujan akan datang lagi dan menyisakan tetes air, tapi tidak dengan suara itu. Kini ia merasakan dunia tak ubahnya kandang besar berisi jutaan ternak ayam penuh selera yang sejak tetas pertama hidup dan selera mereka telah dikondisikan pada logika bisnis majikan. Orang juga seperti ayam. Sejak lahir mereka telah diberondong terus-menerus oleh rancangan selera dan gaya hidup, lalu dengan bangga mengatakan inilah diriku.
Bukan ditinggalkan tapi aku meninggalkan diriku. Aku harus mencari diriku yang telah kutinggalkan sejak lahir! Diriku bukan ayam potong, bukan budak pasar dan konsumsi! Tekad itu semakin kuat dalam benak Zen. Betapa sedih diri yang ditinggalkan oleh akunya. Kini ia mulai paham bahwa aku tak bermakna apa-apa tanpa diri, juga diri tak berdaya tanpa aku. Zen keluar, pergi mencari dirinya sebelum akunya juga hilang. Ia keluar ke mana-mana, tapi belum juga menemukan diri.
Sebuah bisikan datang sebagai dengung jangkrik. “Tidak hanya kau, tapi kalian semua sungguh sedang tersesat ke dalam syurga, dan tak tau jalan kembali.”
Makassar, 25 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar