“Allahu akbar Allahu
akbar! …”
Lafaz-lafaz iqamat dari
sebuah mushallah kecil rumah sakit itu mengawali shalat jama’ah Maghrib. Aku
dan dua teman terperangah dengan waktu yang terasa semakin cepat melalui menara
mungil sebuah mushallah. Lafaz dari speaker menara betul-betul telah
mendapatkan otoritasnya. Seperti di tempat lain, dari menara-menara masjid yang
berlimpah, speaker masjid juga telah mendapatkan otoritas yang luar biasa, dari
dan untuk sebagian ummat Islam. Tapi sebenarnya kini, apalagi di kota-kota
terbilang maju, lafaz-lafaz dari speaker masjid lebih berfungsi sebagai klakson
yang sengaja dibunyikan untuk meminta sedikit peluang lewat. Ya, semacam
interupsi jalanan.
“Ash-shalatu jaami’ah
rahimakumullah! Luruskan shaf dan rapatkan!”
Diskusi kami dibuatnya
terputus, diskusi yang kami sendiri sudah lupa awal dari mana dan untuk apa,
diskusi tentang birokrasi dinegeri ini. Birokrasi kacau, untuk tidak menyebut
hancur. Hampir setengah jam ngobrol kami bertiga. Dua teman; Amin dan Opu yang
bersamaku sesungguhnya belum saling kenal. Aku kebetulan pulang kampung. Siang
itu aku berencana bertemu Opu di rumah kontrakan ataupun di kantornya. Setiba
di kota, aku SMS. Dibalasnya bahwa ia sedang di kantor daerah. Aku ke sana.
Pikirku kebetulan Amin berkantor di sana dan sudah cukup lama tidak bertemu
dengannya setelah terakhir kami bertemu sangat singkat, 10 menit tidak lebih.
Ketika itu aku memberi ucapan selamat menempuh hidup baru. Sekejap, lalu ia bersama
pasangannya dengan pakaian adat pengantin menuju ke rumah mempelai perempuan
untuk menjalankan resepsi pernikahan mereka.
Hari ini setelah sekian
bulan, bertemulah kami bertiga. Mudah sekali mengatur pertemuan dengan
teknologi celluler. Hanya dengan sedikit tarian ibu jemari.
Mereka berdua PNS yang
sebenarnya sedang mencari model sendiri untuk adaptasi terhadap kultur
birokrasi. Birokrasi bagi Amin adalah makhluk mekanik modern yang di dalamnya
manusia menjadi komponen kecil semacam sim card, terinstal dan
terprogram sedemikian rupa.
“Di kantor kami ini
susah. Tidak membuat wawasan bertambah, malah sebaliknya makin sempit dan
ketinggalan. Keahlian digunakan seadanya dan lebih sering dimanipulasi.
Bayangkan! Saya diminta menyelesaikan sesuatu atas dasar tugas kantor atau
pengabdian alias tanpa biaya. Selesai. Lalu pekerjaan itu tercatat menggunakan
biaya operasional dalam pelaporannya. Bagi yang tidak punya keahlian, sama saja
dengan yang punya; gaji sama karena golongan sama. Yang membuat orang berbeda
adalah jabatan, bukan keahlian dan produktifitas. Yang punya jabatan tinggi,
punya otoritas perintah kiri kanan, paling kurang kerjaan di tengah kerjaan
yang memang kurang. Atau di tengah kesibukan melaksanakan kerjaan yang
mengabaikan manajemen. Yah, memang kurang. Karena bagian kerjaan yang bisa
diselesaikan 10 orang diisi oleh 30 sampai 40 orang.” Demikian Amin memulai
cerita.
“Itulah budaya dan
karakter birokrat kita Min. Tidak hanya di kantor ini, tapi di instansi mana
saja. Lalu, kenapa tidak merintis jalan untuk jadi pejabat saja?” Tanyaku.
“Pejabat? Apa hebatnya
menjadi pejabat PNS? Toh pejabat tidak bisa memperbaiki atau merubah nasib
seseorang, kecuali dengan melanggar aturan main dan mencederai yang lain.
Kadang suatu kegiatan mereka ikuti dengan serius untuk memperoleh penghargaan
akan pengabdian, padahal penghargaan kan mestinya “diberikan”, bukan
“dicari-cari” seperti itu. Penghargaan kok dicari? Lantas apa hebatnya menempel
ramai tanda penghargaan di baju PDH? Merasa lebih hebat? Hebat, dengan kualitas
masih begitu-gitu juga? Saya benar-benar bingung dengan kantor milik Negara
ini!”
“Itu namanya berkecamuk
Min; bekerja keras cari-cari muka. Muka dan perut mereka dapat, tetapi
kehilangan kakinya. Tapi itu juga wajar, karena masyarakat kita juga begitu
caranya menghargai seseorang. Masyarakat dan Negara kita tidak pernah
menghargai keahlian, melainkan jabatan meskipun tanpa keahlian. Hanya ada satu
keahlian yang hebat dan mendapat apresiasi tinggi di negeri ini; keahlian
memperoleh, memainkan dan mempertahankan jabatan”.
“Adalagi program yang
kedengarannya hebat, tapi akhirnya jadi bombastis”, Amin melanjutkan ceritanya.
Opu mengisap rokok dalam-dalam, hingga ke pelosok problem yang dihadapinya.
Nampak ia ingin menumpahkan, tapi kali ini baru ditumpahkan melalui semburan
asap rokoknya.
“Program penerapan
teknologi informatika misalnya. Itu juga bombastis akhirnya, sekedar menjadi
program mahal yang menghabiskan banyak uang Negara. Program itukan
konsekwensinya tidak membutuhkan karyawan banyak. Beranikah mereka mengurangi
jumlah pegawai? Tidak! Malah sebaliknya menambah”.
“Allaahu Akbar! Sami
Allaahu liman Hamidah! …”
Pertemuan kami begitu
singkat, sebentar lagi Amin dan Opu mengantarku pulang. Pulang ke sebuah desa
yang sebenarnya dekat tapi akhirnya menjadi jauh. Sebuah jarak yang tidak
memiliki bilangan matematis. Dekat di mata jauh di kaki. Di kota besar, jenis
jarak seperti ini muncul karena keramaian transportasi yang melahirkan
kemacetan. Di desaku jarak jenis ini muncul karena kekurangan transportasi.
Jalan di malam hari betul-betul menjadi malam karena gulitanya yang sepi, dan
siang benar-benar menjadi siang karena benderangnya panas yang sepi. Jalan di
kemaraunya berkabut debu, di hujannya bergenang lumpur.
Desaku benar-benar telah
menjadi senjata Negara. Benar-benar telah menjadi kampung para budak negara.
Budak yang tugasnya menyiapkan stok pangan bagi kelangsungan hidup diri mereka
sendiri dan terpenting bagi kelangsungan hidup Pejabat Negara; suatu komponen
kecil dominan yang menjalankan makhluk mekanik bernama birokrasi.
Desa itu bahkan bukan
lagi menjadi kampung, melainkan telah menjadi kantor bagi petani. Tragis benar
cara budak negara ini menjalankan tugas. Saat kemarau datang dengan ketidak
pastian kapan berakhir, para budak yang disebut petani menunggu hujan datang
untuk mengairi persawahan mereka. Penantian tak pasti itu pun datang juga.
Hujan mengguyur. Air tumpahan dari langit itu adalah sisa-sisa polusi mesin
industri yang disembur-hambur dari kota para pejabat. Air sisa polusi itu
mereka tadah di atas petak sawah sendiri setelah membayar pajak bumi kepada
Negara. Mereka lalu membeli traktor, pupuk, pestisida, buatan pabrik-pabrik
yang tanpa kenal musim memuntah dan menyebarkan polusi di atas langit, tempat
dimana para petani menanti air hujan sepanjang tahun. Air hujan polusif, sawah,
padi, traktor, pupuk, pestisida, mereka olah sepanjang hari selama musim tanam,
dengan tenaga dan biaya tinggi diantaranya karena transportasi yang pelit dari
negara. Panen tiba diselingi hiburan panen raya. Pejabat Negara hadir. Harga
gabah rendah, keuntungan minim bahkan merugi. Tragis benar cara budak negara
ini menjalankan tugasnya.
Beras telah meruah-limpah
di kota, diangkut oleh truk-truk pengangkut pengrusak jalan. Tapi petani bukan
penanam beras melainkan penanam padi. Mereka dengan mengirit, memakan beras
dari gabah simpanan sendiri. Negara dan pejabatnya menyulap gabah, menjual dan
memakan beras sepuas nafas sebuas nafsu. Ketika kemarau datang lagi, para budak
Negara ini harus semakin irit, dan Negara asyik mengkalkulasi stok beras
berikut kerugian karena dicuri oleh pejabatnya sendiri.
“Allahu Akbar!
Bismillahirrahmanirrahiim …”
Jalan desa itu tetap saja
dengan jarak amatematiknya; gulita sepinya di malam, terang sepinya di siang
hari. Berkabut debu kemarau berbedak lumpur hujan menutupi lubang-lubang.
Seperti menyimpan banyak bekas luka yang enggan sembuh. Sesekali dimusim
suksesi, lubang luka itu dikerasi dengan batu atau tanah galian. Ketika musim
hujan tiba, lubang itu menganga lagi dan memaksa truk pengangkut beras
menurunkan harga gabah. Jalan desa itu sebenarnya lurus dan datar saja. Tapi
desa itu, si budak negera itu, berjalan dalam likuan tajam dan tanjakan hampir
vertikal. Menempuhnya menguras energi dengan jarak tempuh yang minim.
Sepinya jalan desa adalah
gambaran sepinya desa itu sendiri. Sepi informasi, sepi pendidikan, sepi
kesehatan. Satu-satunya yang tidak sepi adalah hiburan musik dari CD-CD bajakan
yang berdentum keras dari hampir setiap rumah, dentuman musik yang membuat desa
itu seperti lingkungan pasar musik tanpa selera, dentuman menjadi lebih penting
dari harmoni nada. Sialan! Desa itu benar-benar telah menjadi mangsa konsumtif
dari para produsen. Rumah-rumah boleh berbeda kualitas, tetapi televisi dan
media musik playernya rata dengan kualitas terbaru. Dibeli cash pasca panen
atau kredit di awal musim tanam. Bahkan sesekali jika kumpul, mereka dengan
bangganya menghitung-hitung; tinggal berapa dari jumlah warga yang tidak
memiliki sepeda motor.
“Sami Allaahu liman Hamidah!
Allaahu Akbar! …”
Kampung itu tak pandai
khawatir dengan anak-anaknya yang hanya bisa mengakses sekolah hingga Sekolah
Dasar yang dibangun 32 tahun lalu. Sekolah miskin guru dan survive dengan guru
miskinnya. Sekolah miskin perpustakaan, gedung rapuh serapuh otak anak-anak
sekolah yang diracuni aneka warna dan jenis jajanan junk food. Tak
pernah gelisah dengan anak-anaknya setelah tamat SD tak dapat lanjut karena
jarak SMP yang sangat jauh. Anak-anak itu harus menggunakan sepeda roda
sepanjang 10 km pergi-pulang selama tiga tahun jika ingin tamat SMP. Ajaib jika
ada anak yang tamat SMA, karena SMA hanya ada di kota kabupaten.
“Assalamu ‘alaikum
warahmatullahi wabarakaatuh…!”
“… Astaghfirullah
al-‘Azhim”. Aku membasuh muka
dalam-dalam. Sepanjang shalatku jadinya tidak husyuk. Yah, biarlah. Tuhankan
Maha Tahu. Aku memang terlalu emosional mengadu kepada Tuhan. Begitulah.
Aduannya faseh lalu Tuhannya terlupa. “Ya Tuhan, masih perlukah aku
menceritakan kepadamu ihwal kampungku dalam shalatku?”
Amin dan Opu mengantarku
pulang. Jalan desa itu tetap saja dengan jarak amatematiknya; gulita sepinya di
malam, terang sepinya di siang hari. Berkabut debu kemarau berbedak lumpur
hujan menutupi lubang-lubang. Aku seperti diantar pulang ke dalam shalat. Ya,
kampung dalam shalat. Sebenarnya kampung itu memang ada dalam dunia nyata, tapi
dengan wajahnya seperti itu, ia tak pernah terlihat. “Tuhan, engkau juga tak
melihatnya?”
Pinrang, Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar