Rabu, 07 Desember 2011

kampung dalam shalatku


 cerpen hamdan

“Allahu akbar Allahu akbar! …”
Lafaz-lafaz iqamat dari sebuah mushallah kecil rumah sakit itu mengawali shalat jama’ah Maghrib. Aku dan dua teman terperangah dengan waktu yang terasa semakin cepat melalui menara mungil sebuah mushallah. Lafaz dari speaker menara betul-betul telah mendapatkan otoritasnya. Seperti di tempat lain, dari menara-menara masjid yang berlimpah, speaker masjid juga telah mendapatkan otoritas yang luar biasa, dari dan untuk sebagian ummat Islam. Tapi sebenarnya kini, apalagi di kota-kota terbilang maju, lafaz-lafaz dari speaker masjid lebih berfungsi sebagai klakson yang sengaja dibunyikan untuk meminta sedikit peluang lewat. Ya, semacam interupsi jalanan.
“Ash-shalatu jaami’ah rahimakumullah! Luruskan shaf dan rapatkan!”
Diskusi kami dibuatnya terputus, diskusi yang kami sendiri sudah lupa awal dari mana dan untuk apa, diskusi tentang birokrasi dinegeri ini. Birokrasi kacau, untuk tidak menyebut hancur. Hampir setengah jam ngobrol kami bertiga. Dua teman; Amin dan Opu yang bersamaku sesungguhnya belum saling kenal. Aku kebetulan pulang kampung. Siang itu aku berencana bertemu Opu di rumah kontrakan ataupun di kantornya. Setiba di kota, aku SMS. Dibalasnya bahwa ia sedang di kantor daerah. Aku ke sana. Pikirku kebetulan Amin berkantor di sana dan sudah cukup lama tidak bertemu dengannya setelah terakhir kami bertemu sangat singkat, 10 menit tidak lebih. Ketika itu aku memberi ucapan selamat menempuh hidup baru. Sekejap, lalu ia bersama pasangannya dengan pakaian adat pengantin menuju ke rumah mempelai perempuan untuk menjalankan resepsi pernikahan mereka.
Hari ini setelah sekian bulan, bertemulah kami bertiga. Mudah sekali mengatur pertemuan dengan teknologi celluler. Hanya dengan sedikit tarian ibu jemari.
Mereka berdua PNS yang sebenarnya sedang mencari model sendiri untuk adaptasi terhadap kultur birokrasi. Birokrasi bagi Amin adalah makhluk mekanik modern yang di dalamnya manusia menjadi komponen kecil semacam sim card, terinstal dan terprogram sedemikian rupa.
“Di kantor kami ini susah. Tidak membuat wawasan bertambah, malah sebaliknya makin sempit dan ketinggalan. Keahlian digunakan seadanya dan lebih sering dimanipulasi. Bayangkan! Saya diminta menyelesaikan sesuatu atas dasar tugas kantor atau pengabdian alias tanpa biaya. Selesai. Lalu pekerjaan itu tercatat menggunakan biaya operasional dalam pelaporannya. Bagi yang tidak punya keahlian, sama saja dengan yang punya; gaji sama karena golongan sama. Yang membuat orang berbeda adalah jabatan, bukan keahlian dan produktifitas. Yang punya jabatan tinggi, punya otoritas perintah kiri kanan, paling kurang kerjaan di tengah kerjaan yang memang kurang. Atau di tengah kesibukan melaksanakan kerjaan yang mengabaikan manajemen. Yah, memang kurang. Karena bagian kerjaan yang bisa diselesaikan 10 orang diisi oleh 30 sampai 40 orang.” Demikian Amin memulai cerita.
“Itulah budaya dan karakter birokrat kita Min. Tidak hanya di kantor ini, tapi di instansi mana saja. Lalu, kenapa tidak merintis jalan untuk jadi pejabat saja?” Tanyaku.
“Pejabat? Apa hebatnya menjadi pejabat PNS? Toh pejabat tidak bisa memperbaiki atau merubah nasib seseorang, kecuali dengan melanggar aturan main dan mencederai yang lain. Kadang suatu kegiatan mereka ikuti dengan serius untuk memperoleh penghargaan akan pengabdian, padahal penghargaan kan mestinya “diberikan”, bukan “dicari-cari” seperti itu. Penghargaan kok dicari? Lantas apa hebatnya menempel ramai tanda penghargaan di baju PDH? Merasa lebih hebat? Hebat, dengan kualitas masih begitu-gitu juga? Saya benar-benar bingung dengan kantor milik Negara ini!”
“Itu namanya berkecamuk Min; bekerja keras cari-cari muka. Muka dan perut mereka dapat, tetapi kehilangan kakinya. Tapi itu juga wajar, karena masyarakat kita juga begitu caranya menghargai seseorang. Masyarakat dan Negara kita tidak pernah menghargai keahlian, melainkan jabatan meskipun tanpa keahlian. Hanya ada satu keahlian yang hebat dan mendapat apresiasi tinggi di negeri ini; keahlian memperoleh, memainkan dan mempertahankan jabatan”.
“Adalagi program yang kedengarannya hebat, tapi akhirnya jadi bombastis”, Amin melanjutkan ceritanya. Opu mengisap rokok dalam-dalam, hingga ke pelosok problem yang dihadapinya. Nampak ia ingin menumpahkan, tapi kali ini baru ditumpahkan melalui semburan asap rokoknya.
“Program penerapan teknologi informatika misalnya. Itu juga bombastis akhirnya, sekedar menjadi program mahal yang menghabiskan banyak uang Negara. Program itukan konsekwensinya tidak membutuhkan karyawan banyak. Beranikah mereka mengurangi jumlah pegawai? Tidak! Malah sebaliknya menambah”.
“Allaahu Akbar! Sami Allaahu liman Hamidah! …”
Pertemuan kami begitu singkat, sebentar lagi Amin dan Opu mengantarku pulang. Pulang ke sebuah desa yang sebenarnya dekat tapi akhirnya menjadi jauh. Sebuah jarak yang tidak memiliki bilangan matematis. Dekat di mata jauh di kaki. Di kota besar, jenis jarak seperti ini muncul karena keramaian transportasi yang melahirkan kemacetan. Di desaku jarak jenis ini muncul karena kekurangan transportasi. Jalan di malam hari betul-betul menjadi malam karena gulitanya yang sepi, dan siang benar-benar menjadi siang karena benderangnya panas yang sepi. Jalan di kemaraunya berkabut debu, di hujannya bergenang lumpur.
Desaku benar-benar telah menjadi senjata Negara. Benar-benar telah menjadi kampung para budak negara. Budak yang tugasnya menyiapkan stok pangan bagi kelangsungan hidup diri mereka sendiri dan terpenting bagi kelangsungan hidup Pejabat Negara; suatu komponen kecil dominan yang menjalankan makhluk mekanik bernama birokrasi.
Desa itu bahkan bukan lagi menjadi kampung, melainkan telah menjadi kantor bagi petani. Tragis benar cara budak negara ini menjalankan tugas. Saat kemarau datang dengan ketidak pastian kapan berakhir, para budak yang disebut petani menunggu hujan datang untuk mengairi persawahan mereka. Penantian tak pasti itu pun datang juga. Hujan mengguyur. Air tumpahan dari langit itu adalah sisa-sisa polusi mesin industri yang disembur-hambur dari kota para pejabat. Air sisa polusi itu mereka tadah di atas petak sawah sendiri setelah membayar pajak bumi kepada Negara. Mereka lalu membeli traktor, pupuk, pestisida, buatan pabrik-pabrik yang tanpa kenal musim memuntah dan menyebarkan polusi di atas langit, tempat dimana para petani menanti air hujan sepanjang tahun. Air hujan polusif, sawah, padi, traktor, pupuk, pestisida, mereka olah sepanjang hari selama musim tanam, dengan tenaga dan biaya tinggi diantaranya karena transportasi yang pelit dari negara. Panen tiba diselingi hiburan panen raya. Pejabat Negara hadir. Harga gabah rendah, keuntungan minim bahkan merugi. Tragis benar cara budak negara ini menjalankan tugasnya.
Beras telah meruah-limpah di kota, diangkut oleh truk-truk pengangkut pengrusak jalan. Tapi petani bukan penanam beras melainkan penanam padi. Mereka dengan mengirit, memakan beras dari gabah simpanan sendiri. Negara dan pejabatnya menyulap gabah, menjual dan memakan beras sepuas nafas sebuas nafsu. Ketika kemarau datang lagi, para budak Negara ini harus semakin irit, dan Negara asyik mengkalkulasi stok beras berikut kerugian karena dicuri oleh pejabatnya sendiri.
“Allahu Akbar! Bismillahirrahmanirrahiim …”
Jalan desa itu tetap saja dengan jarak amatematiknya; gulita sepinya di malam, terang sepinya di siang hari. Berkabut debu kemarau berbedak lumpur hujan menutupi lubang-lubang. Seperti menyimpan banyak bekas luka yang enggan sembuh. Sesekali dimusim suksesi, lubang luka itu dikerasi dengan batu atau tanah galian. Ketika musim hujan tiba, lubang itu menganga lagi dan memaksa truk pengangkut beras menurunkan harga gabah. Jalan desa itu sebenarnya lurus dan datar saja. Tapi desa itu, si budak negera itu, berjalan dalam likuan tajam dan tanjakan hampir vertikal. Menempuhnya menguras energi dengan jarak tempuh yang minim.
Sepinya jalan desa adalah gambaran sepinya desa itu sendiri. Sepi informasi, sepi pendidikan, sepi kesehatan. Satu-satunya yang tidak sepi adalah hiburan musik dari CD-CD bajakan yang berdentum keras dari hampir setiap rumah, dentuman musik yang membuat desa itu seperti lingkungan pasar musik tanpa selera, dentuman menjadi lebih penting dari harmoni nada. Sialan! Desa itu benar-benar telah menjadi mangsa konsumtif dari para produsen. Rumah-rumah boleh berbeda kualitas, tetapi televisi dan media musik playernya rata dengan kualitas terbaru. Dibeli cash pasca panen atau kredit di awal musim tanam. Bahkan sesekali jika kumpul, mereka dengan bangganya menghitung-hitung; tinggal berapa dari jumlah warga yang tidak memiliki sepeda motor.
“Sami Allaahu liman Hamidah! Allaahu Akbar! …”
Kampung itu tak pandai khawatir dengan anak-anaknya yang hanya bisa mengakses sekolah hingga Sekolah Dasar yang dibangun 32 tahun lalu. Sekolah miskin guru dan survive dengan guru miskinnya. Sekolah miskin perpustakaan, gedung rapuh serapuh otak anak-anak sekolah yang diracuni aneka warna dan jenis jajanan junk food. Tak pernah gelisah dengan anak-anaknya setelah tamat SD tak dapat lanjut karena jarak SMP yang sangat jauh. Anak-anak itu harus menggunakan sepeda roda sepanjang 10 km pergi-pulang selama tiga tahun jika ingin tamat SMP. Ajaib jika ada anak yang tamat SMA, karena SMA hanya ada di kota kabupaten.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh…!”
“… Astaghfirullah al-‘Azhim”. Aku membasuh muka dalam-dalam. Sepanjang shalatku jadinya tidak husyuk. Yah, biarlah. Tuhankan Maha Tahu. Aku memang terlalu emosional mengadu kepada Tuhan. Begitulah. Aduannya faseh lalu Tuhannya terlupa. “Ya Tuhan, masih perlukah aku menceritakan kepadamu ihwal kampungku dalam shalatku?”
Amin dan Opu mengantarku pulang. Jalan desa itu tetap saja dengan jarak amatematiknya; gulita sepinya di malam, terang sepinya di siang hari. Berkabut debu kemarau berbedak lumpur hujan menutupi lubang-lubang. Aku seperti diantar pulang ke dalam shalat. Ya, kampung dalam shalat. Sebenarnya kampung itu memang ada dalam dunia nyata, tapi dengan wajahnya seperti itu, ia tak pernah terlihat. “Tuhan, engkau juga tak melihatnya?”
Pinrang, Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar