cerpen hamdan
“Beritahulah
aku tentang waktu!”
“Waktu?
Waktu hanyalah siang, lalu malam, dan pergantiannya. Di antara itu ada
subuh dan pagi, ada sore dan petang. Begitu seterusnya; sehari,
seminggu, sebulan, setahun, seabad, sezaman, dan sejarah”.
Mendapat jawaban, dengan wajah tanpa
reaksi, penanya segera saja berterima kasih dan pergi berlalu.
Menghilang dalam kesibukan pagi kota. Hilang seperti tanpa waktu.
Sementara orang yang ia tanya tinggal melongok dengan mulut ternganga
diganjal rasa aneh. Aneh! Tapi kemudian ia belok juga ke kantornya. Ia
seorang karyawan, orang kantoran, budak atau mungkin juga majikan sang
waktu.
Peduli amat.
Mungkin yang bertanya tadi seorang supervisior publik di kantor ini,
pikirnya. Mungkin dengan cara begitu; menyindir tentang waktu, ia
bermaksud menegur atau membina karyawan yang kurang disiplin. Ah, jika
benar, itu hanya sebatas cara dan strategi yang sedikit halus, yang
berarti juga muslihat. Benar! Muslihat! Manajemen kan juga muslihat.
Siapa yang bisa menipu kemacetan agar tidak telat ngantor? Siapa bilang
kendaraan selalu membuat perjalanan lebih cepat dengan jalur kota dan
lalu lintas sepadat susunan batu bata?
Di kantor bercerita ia dengan rekan-rekan
bahkan bossnya. Semula mereka kurang percaya. Mungkin saja orang itu
bermaksud menanyakan pukul berapa. Mungkin juga dia gila atau mabuk,
atau baru terjaga setelah tersesat dan ketiduran semalam. Namun kemudian
mereka terbawa dalam kondisi percaya dan tidak, setelah boss mereka
juga mengaku pernah bertemu dengan orang yang sama.
“Sebenarnya orang itu tidak aneh”, kata
boss. “Tapi pertanyaannya yang membuat segalanya jadi aneh; beritahulah
aku tentang waktu! Adakah jawaban lain tentang waktu?”
Retorika boss meniru orang itu, membuat
beberapa karyawan semakin serius mendengar. Jam menunjukkan pukul 09.30.
Sedang kendaraan terdengar semakin sesak dan sibuk. Teriakan-teriakan
klakson adalah bahasa modern, sebuah kata tentang waktu. Dan kemacetan
adalah protes sang waktu kepada manusia atas dirinya yang didesak untuk
berlari.
“Apa yang ia
tanyakan boss?”
“Iya boss,
pertanyaannya bagaimana?”
“Beritahulah
aku tentang waktu!”
“Lalu,
jawaban boss?”
“Time is
money, kataku. Sedetik bisa berarti sejuta.”
Satu persatu karyawan berkumpul di ruang
lobby, meninggalkan pekerjaan dan lebih tertarik dengan cerita boss.
Cerita tentang orang aneh. Lingkaran terbentuk layaknya penonton jualan
obat. Dan si boss mulai mondar-mandir dalam lingkaran.
“Di zaman modern waktu adalah segalanya.
Sedang segalanya itu dapat dinilai dengan uang. Karena itulah kami
mengharghai waktu”. Ia tenang sejenak. “Saat itu saya menyebut ‘kami’
sambil mengacungkan telapak tangan ke kantor ini,” jelas boss dengan
sedikit bangga.
Itu juga
yang biasa disampaikan boss kepada karyawannya. Bukan hanya kepada orang
aneh itu. Sekejap ruang-ruang semakin ramai dengan cerita orang aneh.
Tidak hanya di ruang kantor itu, tapi juga di setiap ruang bahkan
sekecil dan sesempit mungkin. Waktu menerobos ruang. Sampai waktu kantor
habis. Kantor sepi kembali. Tapi sepi juga waktu. Sore, petang, malam,
subuh, pagi. Kantor. Waktu begitu cepat.
***
Dalam sebuah laporan diberitakan bahwa tingkat produktivitas
Kota dalam beberapa hari terakhir menurun mencapai sepuluh persen. Sebab
utama adalah faktor aktivitas dan produktivitas kerja yang terpuruk
drastis. Hampir sebulan terakhir di setiap instansi negeri maupun
swasta, pusat-pusat bisnis, pendidikan, kesehatan, hiburan, warung kopi,
seluruhnya terhipnotis dan terhanyut oleh cerita tentang orang aneh
yang bertanya tentang waktu. Saling bertukar cerita, gossip,
bergerombol, dan pekerjaan menjadi selingan. Bahkan secara diam-diam
seperti biasanya, untuk hal-hal yang dapat mengganggu ketertiban dan
kestabilan, pihak keamanan kota lebih awal melarang segala bentuk
peliputan media. Sebab hal ini dapat berakibat sangat fatal bagi
keamanan Kota. Namun akhirnya berita ini besar tanpa media.
“Kriiiiiiiing…kriiiiing…..!!”
“Hallo, selamat pagi. Dengan kepolisian
Kota. Ada yang bisa kami bantu?”
“Beritahulah aku tentang waktu!”
Pak
polisi dengan sedikit tersentak langsung menutup mic telepon dan memberi
isyarat ke rekannya untuk menyadap. Tapi semuanya sia-sia. Hubungan
telah putus. Putus karena tak ada jawaban hanya dalam durasi sepersekian
detik. Dalam sehari seluruh jaringan telepon mendapat pertanyaan yang
sama secara berurut tentunya. Hari itu kota dihujani deringan telepon
tentang waktu. Jatuh deras melebihi kecepatan cahaya tepat di urat
saraf. Seluruh warga tak mau mengangangkat telepon untuk kedua kalinya.
Semua ragu, khawatir, takut dengan orang aneh. Pertanyaan tentang waktu
oleh orang aneh telah menjalar ke kawat-kawat telepon dan menderingkan
seluruh nomor, seluruh operator ponsel, SMS, e-mail, dan website;
beritahulah aku tentang waktu!
“Ting-ting-ting-ting-ting …,” nada midi dering lagu menghitung
hari, terdengar dari sebuah handphone milik seorang gadis ABG.
“Hi, hallo say…” dengan suara lembut khas
ABG.
“Hi…, beritahulah
aku tentang waktu!”
“Tentang
waktunya? Oo … Mas Deni kan? Mas, aku rindu deh. Kangeeen banget.
Waktunya sudah pasti kan? Mas, jangan ditunda lagi ya?”
“Beritahulah aku tentang waktu!”
“Hallo …, Mas De…..” lagi-lagi hubungan terputus. Para ABG
berponsel terganggu. Seluruh pesan SMS adalah pertanyaan tentang waktu.
Nomor ponsel orang aneh diblokir. muncul lagi nomor baru. Blokir. Baru
lagi. Kota resah; subuh, pagi, siang, sore, petang, malam. Waktu
berjalan meneror.
“Orang
aneh itu telah memasuki segala bagian sampai ke bagian yang paling pojok
dari kota kita. Bagaimana menurut bapak sebagai pejabat Kota?” Tanya
seorang wartawan.
“Ini
benar-benar meresahkan dan mengancam Kota. Coba anda pikir, adakah
jawaban lain tentang waktu? Ini adalah teror menakutkan setelah robohnya
WTC. Ini bentuk teror baru yang dibuat tanpa ledakan dan darah.”
Pertanyaan tentang waktu bervirus issu
teror. Orang aneh masuk dalam DPO. Pihak keamanan sedikit kesulitan
mengidentifikasi apalagi menangkap pelaku. Keadaan lalu membaik dengan
sendirinya. Tak ada lagi yang pernah bertemu dengan orang aneh. Entah
kemana ia menghilang. Namun yang tertinggal di dalam benak warga Kota
adalah waktu. Waktu dimana Kota akan meledak dan hancur lebur. Kota
sedang menunggu waktu.
“Saudara-saudara
warga kota, kami menghimbau agar tetap beraktivitas seperti biasa. Kita
tinggal perlu waktu sedikit untuk menagkapnya. Kota ini menyatakan
perang terhadap segala teror.” Tepuk tangan formalitas menggemuruh
mengakhiri konferensi pers. Walaupun pertanyaan belum tuntas.
“Terhadap teror atau teroris pak?” Tanya
seorang wartawan.
“Kita
tidak butuh interpretasi. Yang tidak menyatakan perang dapat dianggap
melawan pemerintah dan berarti mendukung teror,” balasnya kemudian.
“Sedikit lagi pak. Butuh berapa lama
menangkap pelaku? Publik butuh ketegasan tentang waktu.”
“Kita butuh waktu. Anda harus bersabar.
Cepat atau lambat pasti tertangkap!”
Tujuh belas orang telah dicurigai karena memiliki pertanyaan
atau pernyataan yang sama tentang waktu, termasuk si wartawan. Keadaan
mencekam kembali. Orang-orang harus mengontrol diri agar tidak
terpeleset berbicara tentang waktu. Sehelai surat dan amplop tercecer di
jalan menjadi barang bukti. Alamat pengirim fiktif, namun alamat tujuan
lengakap ke sebuah Pesantren, dianulir memiliki hubungan erat dengan
pelaku. Beberapa waktu terakhir pak Kiyai memang sering berceramah
keliling dan memperingatkan kepada jama’ahnya tentang waktu yang akan
tiba. Waktu yang menggemparkan, yang saat ini hampir semua orang
mengabaikannya: Kiamat!
Pak
Kiyai diciduk di Puskesmas saat sedang berobat. Ditahan dengan tuduhan
teror dan menciptakan teror baru. Juga terindikasi memiliki hubungan
dengan jaringan teror internasional yang meledakkan beberapa tempat.
Membakar lokalisasi pelacuran dan perjudian Kota dua tahun lalu,
merugikan Kota, dan sejumlah pengembangan kasus lain. Itu melanggar HAM.
Sedang istri dan saudaranya sedang dimintai keterangan sebagai saksi
dan mungkin menjadi tersangka. Kini pak Kiyai menunggu waktu disebuah
tempat dimana waktu berjalan sangat lambat dan monoton.
Pinrang, 23 Oktober 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar