Rabu, 07 Desember 2011

waktu meneror

 cerpen hamdan 


“Beritahulah aku tentang waktu!”
 
“Waktu? Waktu hanyalah siang, lalu malam, dan pergantiannya. Di antara itu ada subuh dan pagi, ada sore dan petang. Begitu seterusnya; sehari, seminggu, sebulan, setahun, seabad, sezaman, dan sejarah”.
 

Mendapat jawaban, dengan wajah tanpa reaksi, penanya segera saja berterima kasih dan pergi berlalu. Menghilang dalam kesibukan pagi kota. Hilang seperti tanpa waktu. Sementara orang yang ia tanya tinggal melongok dengan mulut ternganga diganjal rasa aneh. Aneh! Tapi kemudian ia belok juga ke kantornya. Ia seorang karyawan, orang kantoran, budak atau mungkin juga majikan sang waktu.
 

Peduli amat. Mungkin yang bertanya tadi seorang supervisior publik di kantor ini, pikirnya. Mungkin dengan cara begitu; menyindir tentang waktu, ia bermaksud menegur atau membina karyawan yang kurang disiplin. Ah, jika benar, itu hanya sebatas cara dan strategi yang sedikit halus, yang berarti juga muslihat. Benar! Muslihat! Manajemen kan juga muslihat. Siapa yang bisa menipu kemacetan agar tidak telat ngantor? Siapa bilang kendaraan selalu membuat perjalanan lebih cepat dengan jalur kota dan lalu lintas sepadat susunan batu bata?
 

Di kantor bercerita ia dengan rekan-rekan bahkan bossnya. Semula mereka kurang percaya. Mungkin saja orang itu bermaksud menanyakan pukul berapa. Mungkin juga dia gila atau mabuk, atau baru terjaga setelah tersesat dan ketiduran semalam. Namun kemudian mereka terbawa dalam kondisi percaya dan tidak, setelah boss mereka juga mengaku pernah bertemu dengan orang yang sama.
 

“Sebenarnya orang itu tidak aneh”, kata boss. “Tapi pertanyaannya yang membuat segalanya jadi aneh; beritahulah aku tentang waktu! Adakah jawaban lain tentang waktu?”
Retorika boss meniru orang itu, membuat beberapa karyawan semakin serius mendengar. Jam menunjukkan pukul 09.30. Sedang kendaraan terdengar semakin sesak dan sibuk. Teriakan-teriakan klakson adalah bahasa modern, sebuah kata tentang waktu. Dan kemacetan adalah protes sang waktu kepada manusia atas dirinya yang didesak untuk berlari.
 

“Apa yang ia tanyakan boss?”
 

“Iya boss, pertanyaannya bagaimana?”
 

“Beritahulah aku tentang waktu!”
 

“Lalu, jawaban boss?”
 

“Time is money, kataku. Sedetik bisa berarti sejuta.”
 

Satu persatu karyawan berkumpul di ruang lobby, meninggalkan pekerjaan dan lebih tertarik dengan cerita boss. Cerita tentang orang aneh. Lingkaran terbentuk layaknya penonton jualan obat. Dan si boss mulai mondar-mandir dalam lingkaran.
 

“Di zaman modern waktu adalah segalanya. Sedang segalanya itu dapat dinilai dengan uang. Karena itulah kami mengharghai waktu”. Ia tenang sejenak. “Saat itu saya menyebut ‘kami’ sambil mengacungkan telapak tangan ke kantor ini,” jelas boss dengan sedikit bangga.
Itu juga yang biasa disampaikan boss kepada karyawannya. Bukan hanya kepada orang aneh itu. Sekejap ruang-ruang semakin ramai dengan cerita orang aneh. Tidak hanya di ruang kantor itu, tapi juga di setiap ruang bahkan sekecil dan sesempit mungkin. Waktu menerobos ruang. Sampai waktu kantor habis. Kantor sepi kembali. Tapi sepi juga waktu. Sore, petang, malam, subuh, pagi. Kantor. Waktu begitu cepat.
 

***
 

Dalam sebuah laporan diberitakan bahwa tingkat produktivitas Kota dalam beberapa hari terakhir menurun mencapai sepuluh persen. Sebab utama adalah faktor aktivitas dan produktivitas kerja yang terpuruk drastis. Hampir sebulan terakhir di setiap instansi negeri maupun swasta, pusat-pusat bisnis, pendidikan, kesehatan, hiburan, warung kopi, seluruhnya terhipnotis dan terhanyut oleh cerita tentang orang aneh yang bertanya tentang waktu. Saling bertukar cerita, gossip, bergerombol, dan pekerjaan menjadi selingan. Bahkan secara diam-diam seperti biasanya, untuk hal-hal yang dapat mengganggu ketertiban dan kestabilan, pihak keamanan kota lebih awal melarang segala bentuk peliputan media. Sebab hal ini dapat berakibat sangat fatal bagi keamanan Kota. Namun akhirnya berita ini besar tanpa media.
 

“Kriiiiiiiing…kriiiiing…..!!”
 

“Hallo, selamat pagi. Dengan kepolisian Kota. Ada yang bisa kami bantu?”
 

“Beritahulah aku tentang waktu!”
 

Pak polisi dengan sedikit tersentak langsung menutup mic telepon dan memberi isyarat ke rekannya untuk menyadap. Tapi semuanya sia-sia. Hubungan telah putus. Putus karena tak ada jawaban hanya dalam durasi sepersekian detik. Dalam sehari seluruh jaringan telepon mendapat pertanyaan yang sama secara berurut tentunya. Hari itu kota dihujani deringan telepon tentang waktu. Jatuh deras melebihi kecepatan cahaya tepat di urat saraf. Seluruh warga tak mau mengangangkat telepon untuk kedua kalinya. Semua ragu, khawatir, takut dengan orang aneh. Pertanyaan tentang waktu oleh orang aneh telah menjalar ke kawat-kawat telepon dan menderingkan seluruh nomor, seluruh operator ponsel, SMS, e-mail, dan website; beritahulah aku tentang waktu!
 

“Ting-ting-ting-ting-ting …,” nada midi dering lagu menghitung hari, terdengar dari sebuah handphone milik seorang gadis ABG.
 

“Hi, hallo say…” dengan suara lembut khas ABG.
 

“Hi…, beritahulah aku tentang waktu!”
 

“Tentang waktunya? Oo … Mas Deni kan? Mas, aku rindu deh. Kangeeen banget. Waktunya sudah pasti kan? Mas, jangan ditunda lagi ya?”
 

“Beritahulah aku tentang waktu!”
 

“Hallo …, Mas De…..” lagi-lagi hubungan terputus. Para ABG berponsel terganggu. Seluruh pesan SMS adalah pertanyaan tentang waktu. Nomor ponsel orang aneh diblokir. muncul lagi nomor baru. Blokir. Baru lagi. Kota resah; subuh, pagi, siang, sore, petang, malam. Waktu berjalan meneror.
 

“Orang aneh itu telah memasuki segala bagian sampai ke bagian yang paling pojok dari kota kita. Bagaimana menurut bapak sebagai pejabat Kota?” Tanya seorang wartawan.
 

“Ini benar-benar meresahkan dan mengancam Kota. Coba anda pikir, adakah jawaban lain tentang waktu? Ini adalah teror menakutkan setelah robohnya WTC. Ini bentuk teror baru yang dibuat tanpa ledakan dan darah.”
 

Pertanyaan tentang waktu bervirus issu teror. Orang aneh masuk dalam DPO. Pihak keamanan sedikit kesulitan mengidentifikasi apalagi menangkap pelaku. Keadaan lalu membaik dengan sendirinya. Tak ada lagi yang pernah bertemu dengan orang aneh. Entah kemana ia menghilang. Namun yang tertinggal di dalam benak warga Kota adalah waktu. Waktu dimana Kota akan meledak dan hancur lebur. Kota sedang menunggu waktu.
 

“Saudara-saudara warga kota, kami menghimbau agar tetap beraktivitas seperti biasa. Kita tinggal perlu waktu sedikit untuk menagkapnya. Kota ini menyatakan perang terhadap segala teror.” Tepuk tangan formalitas menggemuruh mengakhiri konferensi pers. Walaupun pertanyaan belum tuntas.
 

“Terhadap teror atau teroris pak?” Tanya seorang wartawan.
 

“Kita tidak butuh interpretasi. Yang tidak menyatakan perang dapat dianggap melawan pemerintah dan berarti mendukung teror,” balasnya kemudian.
 

“Sedikit lagi pak. Butuh berapa lama menangkap pelaku? Publik butuh ketegasan tentang waktu.”
 

“Kita butuh waktu. Anda harus bersabar. Cepat atau lambat pasti tertangkap!”
 

Tujuh belas orang telah dicurigai karena memiliki pertanyaan atau pernyataan yang sama tentang waktu, termasuk si wartawan. Keadaan mencekam kembali. Orang-orang harus mengontrol diri agar tidak terpeleset berbicara tentang waktu. Sehelai surat dan amplop tercecer di jalan menjadi barang bukti. Alamat pengirim fiktif, namun alamat tujuan lengakap ke sebuah Pesantren, dianulir memiliki hubungan erat dengan pelaku. Beberapa waktu terakhir pak Kiyai memang sering berceramah keliling dan memperingatkan kepada jama’ahnya tentang waktu yang akan tiba. Waktu yang menggemparkan, yang saat ini hampir semua orang mengabaikannya: Kiamat!
 

Pak Kiyai diciduk di Puskesmas saat sedang berobat. Ditahan dengan tuduhan teror dan menciptakan teror baru. Juga terindikasi memiliki hubungan dengan jaringan teror internasional yang meledakkan beberapa tempat. Membakar lokalisasi pelacuran dan perjudian Kota dua tahun lalu, merugikan Kota, dan sejumlah pengembangan kasus lain. Itu melanggar HAM. Sedang istri dan saudaranya sedang dimintai keterangan sebagai saksi dan mungkin menjadi tersangka. Kini pak Kiyai menunggu waktu disebuah tempat dimana waktu berjalan sangat lambat dan monoton.

Pinrang, 23 Oktober 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar